Umat beragama hidup rukun, tentu menjadi harapan bersama. Kerukunan hidup itu merupakan citra, situasi dan kondisi ideal, dimana antar sesama anggota masyarakat (dan umat beragama) hidup dalam kenyamanan dan kedamaian.
Dalam organisme masyarakat terdapat sesuatu yang melekat. Salah satunya sistem kepercayaan atau agama. Nah, pengistilahan masyarakat yang beragama hidup rukun ternyata memiliki istilah sendiri, yaitu kerukunan umat beragama.
Kerukunan umat beragama secara sederhana dapat diartikan sebagai keadaan hubungan sesama umat beragama, yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, dan saling menghargai, kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya masing-masing.
Kerukunan juga, terlihat pada dimensi sosial umat beragama melakukan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dalam lingkup negara kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini.
Menelusuri penggunaan istilah “Kerukunan Umat Beragama” secara formal, ternyata digunakan pertama kali ketika penyelenggaraan Musyawarah Antar Umat Beragama oleh pemerintah pada tanggal 30 Nopember 1967 di Gedung Dewan Pertimbangan Agung Jakarta. Sebagaimana dikutip oleh kemenag.go.id.
Pertemuan ini merespon situasi yang terjadi, pada saat itu terhadap bangsa kita yang sedang mengalami ketegangan hubungan antar berbagai penganut agama di beberapa daerah. Hal itu perlu segera diselesaikan. Jika tidak segera diatasi, khawatir dapat membahayakan persatuan bangsa.
Belakangan ini, dari akumulasi perkembangan, terbentuklah wadah Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). FKUB ini bertujuan untuk membicarakan tanggung jawab bersama dan kerjasama di antara para warga negara yang saling berbeda agama. Keputusan yang diambil wadah ini merupakan kesepakatan yang mempunyai nilai ikatan moral dan bersifat saran kepada pemerintah dan majelis-majelis agama serta himbauan kepada umat dan masyarakat luas.
Tidaklah berlebihan wadah tersebut diadakan, sebab dalam realitas kehidupan pada masyarakat kita, agama merupakan masalah yang sangat peka (sensitif). Bahkan merupakan masalah yang paling peka di antara masalah sosial-budaya lainnya.
Ya, acapkali terjadinya sesuatu masalah sosial, akan menjadi semakin menjelimet (complicated), jika masalah tersebut menyangkut pula pada masalah agama dan kehidupan beragama. Itulah yang terjadi.
Sebuah analisa dari oleh S. Yuslian (2011) tentang terjadinya keruwetan tersebut menurutnya, disebabkan antara lain, karena situasi dan kondisi masyarakat kita terutama di daerah pedesaan sangat komunialistis. Dimana sebagian besar jiwa keagamaannya dibina dan dibentuk oleh lingkungan sosialnya masing-masing. Dikutip oleh iain-tulungagung.ac.id.
Dengan demikian, sangat dirasakan bahwa jiwa keagamaan orang-seorang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari jiwa keagamaan lingkungannya. Dus, pembinaan jiwa keagamaan pada umumnya merupakan warisan dari kehidupan lingkungan sosialnya.
Sementara itu, membangun dan membina kehidupan umat beragama yang harmonis bukan merupakan agenda yang ringan. Agenda ini harus dijalankan dengan hati-hati mengingat agama sangat melibatkan aspek emosi umat, sehingga sebagian mereka lebih cenderung pada “klaim kebenaran” daripada “mencari kebenaran”.
Situasi belakangan ini menghadapi pemilu nasional (Pileg-Pilpres) 2019, dimana antar kelompok baik intern agama, maupun beda agama, hampir selalu memanfaatkan sentimen dan jargon keagamaan dalam kaitan kepentingan politik tersebut. Untuk ini, masyarakat hendaknya memiliki kedewasaan bersikap serta wawasan yang memadai untuk menghadapi dinamika sosial-politik yang terjadi.
Berbagai benturan kepentingan atas dasar atau mengaitkan dengan agama tertentu, sebaiknya dihadapi dengan seksama, tidak gegabah, penuh pertimbangan, dan penghormatan hak mereka.
Sejatinya, boleh saja simbol agama dijadikan salah satu faktor pembentuk citra seseorang. Namun tentu saja harus dibedakan, mana sikap dan pencitraan diri atau kelompok yang diperbolehkan dan mana yang dilarang.
Nah, bagi kita semua, ada baiknya dapat membedakan, mana citra diri yang asli, mana yang dibuat-buat.***
Sumber : iain-tulungagung.ac.id, academia.edu dan kemenag.go.id