BERSENI-BERSASTERA; KEMERDEKAAN MEMAKNAI

Di Indonesia, mempertanyakan kebebasan bersastera adalah hal yang terkesan ironi. Apalagi dewasa ini, publik kita sedang bergembira atas beberapa kemajuan transparansi, era sudah berubah, dan waktu telah berlalu. Namun, demikian, apakah hakikat kebebasannya ada atau tidak, wallahu’alam (?).

Kesempatan ini, penulis tidak bermaksud mencari tahu secara mendalam permasalahan kebebasan bersastera, tapi lebih cenderung pada pemanfaatan nuansa “kebebasan” waktu untuk bersastera. Sebagai illustrasi, kenapa kehadiran karya cerpen Bibir karya Putu Wijaya sempat membuat heboh, drama-drama kritis tentang kebebasan berpendapat masih digandrungi dan sejumlah ekspresi lain, sebagai pernyataan ketidak-bebasan berpendapat juga diminati.

Ibarat got wacana kebebasan bersastera di negara ini, tatkala saluran air itu tersumbat, maka airnya luber kesana-kemari tidak terkendali. Gagasan, ide maupun saran yang tidak tertampung oleh saluran, termasuk melalui sastera, meluap menjadi ungkapan-ungkapan yang tersembunyi tapi bernada kritis dan mendalam.

Secara internasional, perihal mempertanyakan hal ini, kita bisa bercermin dari kasus The Satanic of Verses karya Salman Rushdie yang diterbitkan oleh Virgi Pinguin. Sejak tanggal 26 Nopember 1988 –saat diterbitkan novel Rushdie pertama kali– hingga 25 desember 1990 –waktu Rushdie mengucapkan dua kalimah syahadat– adalah puncak gejolak dan konflik tentang kebebasan bersastera.

Satu tahun berlalu, Desember 1991, di Mesir ‘Alaa Hamid, penulis karya fiksi, juga kena getah akibat ulahnya sendiri, ia menulis hasil fiksi yang berjudul Masafah fi Aql Rajul, karya yang berisi tentang mimpi-mimpi yang meremehkan keberadaan Nabi SAW.

****

Sastera adalah ungkapan dari seseorang yang dituangkan dengan bahasa. Simbol bahasanya berragam sesuai dengan minat dan keahlian dan kepuasan. Bahasa vokal, instrumentalia, bahasa tubuh, tulisan, coretan dan lain sebagainya. Bahasa penyampaiannya juga kerapkali memakai cara sampiran. Sampiran dilakukan karena untuk memperindah, mengkhaskan, menyimpan, menyembunyikan dan memperhalus bahasa yang dikomunikasikan. Dengan bahasa lain, sedikit “mengkaburkan” maksud.

Dalam perspektif politik, sampiran muncul selain karena bermaksud membuat keindahan, juga karena tidak hadir sepenuhnya kebebasan bersastera. bahkan, tidak hanya kebebasan itu pula sebabnya, terkadang karena ada faktor lain yang juga memberatkan.

Realitas kehidupan manusia terkadang dihiasi oleh adanya sisi yang gelap. Hal itu menjadi beban dalam mengarungi lautan kehidupan ini. Meresponi masalah ini, sastrawan mencari pelampiasan yang secara psikologis dapat meringankan beban hidup itu tadi, yaitu melalui bersastera. Karena itulah, maka ada orang yang berpendapat, bahwa sasterawan berkarya adalah untuk menghilangkan stres atau menjauhi gejala-gejala sakit jiwa. Singkatnya, menjadi alat penghibur.

Masa Orba (Orde Baru) sastera tampil dengan format yang “diam-diam”, namun bernada berontak, sehingga terkesan takut dan kurang berani tampil. Hal ini, berkaitan dengan kebijakan politik bangsa. Sebaliknya, pada akhir-akhir ini, dalam penjelmaan dan pengakuan sebagai Era Reformasi, sastera tampil dengan bahasa lugas, langsung dan “blak-blakan”. Boleh jadi, sikap ini adalah sebagai “balas-dendam” terhadap pola aturan dan kebijakan pada masa Orba yang lalu.

Hal itu pun, tidak lepas dari setting sejarah yang sedang bergulir. Yakni, ingin menkontekstualisasikan berbagai harapan, ungkapan, saran, kritik dan petisi. Berkenaan dengan latar waktu ini, Korrie Layun Rampan, pengamat sastera, mengusulkan untuk pembentukkan periodesasi sastera baru, yang beliau usulkan periode Reformasi atau Angkatan 2000 (Republika, 23/08/98).

Sastera dalam konteks waktu, akan sarat dengan nuansa perubahan makna dan semangat. Betapa tidak, sang waktu berpengaruh dalam segala persoalan hidup. Teori The Great Time, bukti bahwa waktu mempengaruhi persoalan kehidupan termasuk bersastera, terlepas dari hanya sekedar teori. Semangat waktu (zeitgeist) tanpa diciptakan akan begitu saja mengalir, laksana air di pegunungan mengalir mencari tempat yang lebih rendah. Pembumian sastera yang “blak-blakan” akhir-akhir ini, khususnya di Nusantara, adalah juga bukti semangat zaman reformasi amat mempengaruhi semangat dan arti sebuah hasil karya sastera. Waktu yang sedang dijalani di tanah pertiwi ini lagi pesta bernuansa transparansi yang hampir kebablasan dan merenggang.

Peranan sasterawan atau penyair mensikapi zaman seperti sekarang ini, hendaknya arif dan bijaksana. Sasterawan adalah pencipta hikmah, perangkai kata-kata indah, pemilih bunyi-bunyi kata yang geli dan menggelitik. Bahasa yang sasterawan gunakan memanfaatkan fisik (tampilan) bahasa, makna dan mengharmoni kata demi kata secara padu, hingga mencuat makna yang mendalam dari untaian kalimat yang dibuat.

Penyair juga pemberi arti pada setiap kata-kata yang lahir. Walaupun kata-kata tersebut hanya sekedar bunyi, namun, dari kata-kata itulah tersembunyi arti yang menukik, seumpama permata yang tersimpan (lulu al-maknun).

Banyak ahli yang pernah meneliti hal ini, sehingga muncul istilah penelusuran makna dari bahasa (extention of meaning). Bahasa memiliki hakikat makna yang amat dalam. Segala maksud yang terdapat pada benaknya tertuang pada hasil karya. Segalanya menjadi berarti, sekecil apapun. karena setiap ungkapan memiliki makna tersendiri, maka sering ada ungkapan pribahasa “Berkata siang melihat-lihat, berkata malam mendengar-dengar”, artinya, hendaklah selalu berhati-hati dalam mengucapkan kata-kata, sepatah katapun.

****

Orang akan berkarya dalam bidang sastera kalau memiliki kebebasan pikiran. Kebebasan pikiran bukan berarti tidak memiliki masalah. Tapi, mentalnya bebas. Jernih merasakan dan memikirkan sesuatu objek. Kebebasan itu akan mampu melahirkan produk ekspresikan ide atau gagasannya. Orang yang serba sulit, mungkin saja dapat berkreasi. Tapi sebetulnya, dalam kepepetan itulah dia mampu mengekspresikan gagasannya secara bebas dan konsen.

Berpikir bebas adalah simbol dari kemerdekaan. Betapa orang menjadi sangat dikagumi karyanya karena mampu mengolah daya pikir yang bebas. Sama halnya dengan orang yang bebas secara politis dihargai keberadaannya, karena berarti mampu menjada harga dirinya.

Kebebasan dalam berekspresi adalah upaya menghadirkan suatu gagasan yang tadinya abstrak dalam curahan suatu hasil karya. Bisa berbentuk gerak, tulisan, ucapan, nyanyian atau sejumlah bentuk ekspresi lain.

Untuk menciptakan kondisi yang ideal, yang akan melahirkan tradisi bersastera secara baik, perlu beberapa komponen penentu dan pendukungnya. Di antara komponen penentu itu adalah, pertama, kesadaran para sasterawan terhadap perlunya perubahan corak sastera, dari yang terbungkuk-bungkuk karena takut ketahuan, menjadi berdiri tegap tanpa rasa kekhawatiran. Sasterawan benar-benar mengembangkan jiwa kebebasan yang bertanggung-jawab. Kekebasan yang benar-benar bebas, sebetulnya tak mungkin ada dalam tatanan bermasyarakat. Pembatas itu adalah aturan alamiah –kalaupun tidak disebut agama dan hukum– berupa etika, kebermanfaatan bagi ummat, dan kejujuran. Karena norma atau aturan itu akan selalu mengiringi laju hidup manusia bermasayakat secara spontan. Namun, yang dimaksudkan adalah setiap bentuk karya, selalu pertanggung jawaban moral dan sosialnya menguntungkan berbagai pihak.

Kedua, sistem politik yang sedang jaya, mendukung kehadiran karya sastera secara terbuka dan bebas adalah kebijakan negara tempat sang sasterawan berkreasi. Apakah hasil karyanya nanti disanjung atau ditenggelamkan, amat tergantung pada sejauh mana penghargaan negara terhadap suatu hasil karya sastera.

Ketiga, mentalitas para pengguna hasil karya sastera mengarah juga pada dukungan untuk memutar roda kehidupan sastera menjadi dinamis. Wallahu’alam.** (Mansur Asy’arie)