Meradang Karena Gagal Panen, Petani Terapkan Gaya Jablay

Ada pemandangan yang menarik bagi penulis tentang teknis budi daya padi sebagian petani masa tanam kedua dan ketiga (morekat) pada tahun tanam saat ini, yaitu munculnya istilah tanam padi gaya jablay.
Gaya jablay, secara sederhana, berdasarkan obrolan dengan sebagian petani Sukabumi Selatan, bahwa menanam padi tanpa melakukan oleh lahan. Cara ini dilakukan pada pola tanam padi kedua dan seterusnya, pada tahun tanam berjalan sesuai dengan musim penghujan.
Tetapi asal mula kata jablay, menurut quora.com, berasal dari kata alay. Alay artinya gaya yang dianggap berlebihan (lebay) dan cenderung selalu berusaha menarik perhatian. Jablay artinya jarang dibelai. Dalam hal menanam padi bahwa perhatian tahapan pengolahan tanah diabaikan.
Pertimbangan pemakaian teknik jablay, pada masa morekat, karena penggarapan sawah menjelang musim kemarau. Atau disebut tanam kecil. Sehingga dari sisi waktu, perlu percepatan pola tanam padi.
Selain itu, karena umumnya para petani yang dijumpai penulis mengalami gagal panen pada saat masa tanam pertama, karena terserang penyakit padi sundep atau beluk (padi memutih, rapuh lalu terjatuh).
Sehingga indukan jenis padi yang ditanam sebelumnya tidak dapat diandalkan, seperti pada sistem tanam salibu (salin ibu). Untuk itu, petani menanam ulang varietas jenis lain yang diperkirakan lebih unggul, namun tidak melakukan iolah tanah. Terkecuali lahan dengan kondisi tertentu, kering misalnya.
Sementara itu, hal-hal yang menjadi pertimbangan utama para petani menerapkan sistem jablay ini, antara lain meliputi pertimbangan biaya, waktu dan fakta keadaan sawah yang mereka garap.
Hemat biaya, karena dengan sistem ini petani dapat memangkas biaya pengolahan lahan tanah terutama yaitu bajak sawah, baik dengan cara tradisional atau menggunakan mesin. Bila perpatok 90 ribu untuk biaya bajak, maka biaya itu dapat dipangkas langsung sesuai luasan tanah garapan.
Sedangkan masalah waktu tanam, pola jablay dapat mempercepat proses tahapan penanaman karena memotong masa bajak tanah, pasca bajak dan penggenangan lahan. Setidaknya dapat memangkas waktu 1-2 pekan. Waktu yang singkat dan padat ini tentu terkait dengan musim yang menghadapi kemarau, serta cadangan air sawah.
Pengamalan Budi, petani di kawasan Mekarsari, Ciracap, Sukabumi menceritakan bahwa hasil sistem jablay dengan olah lahan pada tanam pertama (baku) relatif tidak jauh berbeda penghasilan dari porekat. Maka, cara inilah menjadi alternatif dipakai.
Sejauh ini penulis belum menemukan hasil studi yang memberikan penjelasan lengkap pengaruh negatif terhadap lahan dengan cara tanam jablay. Cara apapun, selama bertani bermaksud memberi penghormatan terhadap lahan pertanian dengan memanfaatkannya, tentu merupakan upaya mulia.*

Menimbang Prakiraan Cuaca Untuk Masa Tanam, Menghindari Kerugian di Kemudian Hari

panen-saat covid-kompas com

Ilustrasi panen saat pandemi Covid-19

Seperti juga dirasakan, para petani padi sebagian besar di Indonesia saat ini sedang menghadapi masa panen. Sebagian lainnya lebih dahulu panen. Sementara itu, sebagian kecil lainnya pula akan menghadapi panen.
Berkenaan dengan musim panen padi, para petani umumnya tentu sudah sedang mempersiapkan untuk masa cocok tanaman padi kedua dan berikutnya, alias morekat (Sunda).
Pada saat morekat inilah biasanya kerentanan gagal panen sering banyak dikeluhkan para petani, yang disebabkan tidak sinkron pilihan masa cocok tanam dengan peralihan dari musim hujan ke kemarau yang dialami.
Karenanya, tidaklah berlebihan kalau para petani padi senantiasa membuat acuan masa cocok tanam dengan prakiraan musim yang dikeluarkan oleh badan yang berwenang.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada laman bmkg.go.id, merilis prakiraan awal dan puncak musim kemarau pada tahun ini. BMKG memprediksi awal musim kemarau mulai berlangsung di sebagian wilayah Indonesia pada bulan April 2020.
Tapi, tidak semua wilayah Indonesia akan mengawali musim kemarau pada April saat ini. Malah sebagian wilayah akan mengalami musim kemarau pada bulan-bulan berikutnya, atau lebih mundur.
Siaran resmi BMKG itu menyebutkan bahwa prediksi awal musim kemarau di 304 Zona Musim (ZOM) Indonesia terbagi dalam tiga kategori. Sebanyak 17 persen Zona Musim akan mengawali musim kemarau pada bulan April 2020. Wilayah yang termasuk dalam 17 persen Zona musim itu adalah sebagian kecil Nusa Tenggara, Bali dan Jawa.
Sementara 38,3 persen wilayah diprediksi akan mulai memasuki musim kemarau pada Mei 2020. Sejumlah wilayah tersebut ialah sebagian Bali, Jawa, Sumatera dan Sulawesi.
Wilayah lainnya (27,5 persen) yang berada di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua diperkirakan mengalami awal musim kemarau pada bulan Juni 2020.
“Jika dibandingkan terhadap rerata klimatologis Awal Musim Kemarau periode 1981-2010, maka Awal Musim Kemarau 2020 di Indonesia diprakirakan mundur pada 148 ZOM, normal pada 128 ZOM dan maju pada 66 ZOM,” demikian siaran BMKG yang dirilis pada Senin (23/3/2020). Seperti dikutip pula oleh tirto.id.
BMKG juga memperkirakan hanya 9,9 persen wilayah Indonesia yang memgalami puncak musim kemarau lebih awal dari daerah lainnya, yakni pada Juli 2020.
Sebagian besar wilayah, yakni 64,9 persen diperkirakan memasuki puncak musim kemarau pada Agustus dan 18,7 persen daerah lainnya pada September 2020.
“Puncak Musim Kemarau di sebagian besar daerah zona musim diprediksi akan terjadi bulan Agustus 2020,” tulis BMKG. Sesuai dengan keterangan BMKG, musim kemarau pada 2020 secara umum diprediksi lebih basah dari musim kemarau tahun lalu.
Meskipun begitu, BMKG mengingatkan terdapat 30 persen Zona Musim di Indonesia yang diperkirakan mengalami kemarau lebih kering dari situasi normal.
Sejumlah wilayah yang diprediksi akan mengalami musim kemarau lebih kering dari situasi normal adalah sebagian Aceh, sebagian pesisir timur Sumatera Utara, sebagian Riau, Lampung bagian timur, Banten bagian selatan, sebagian Jawa Barat, serta Jawa Tengah bagian tengah dan utara.
Selain itu, sebagian Jawa Timur, Bali bagian timur, NTB bagian timur, sebagian kecil NTT, Kalimantan Timur bagian tenggara, sebagian Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara bagian selatan, dan Maluku bagian barat dan tenggara.
BMKG sekaligus merekomendasikan kewasapadaan terhadap kondisi di sebagian wilayah yang mengalami musim kemarau lebih awal, seperti sebagian Bali, Nusa Tenggara, Jawa Tengah bagian utara dan selatan serta Jawa Barat bagian utara.
Bagi masyarakat petani, prakiraan cuaca ini walau bukan menjadi pedoman mutlak, hendaknya menjadi pembanding yang perlu diakomodir, karena lembaga tersebut mengeluarkan “fatwa” musim sudah melalui analisa, serta dilengkapi dengan bantuan teknologi yang memadai.
Bijak pula manakala para petani juga membuat perencanaan dan pedoman sistem penentuan masa cocok tanam berdasarkan kalender tradisional lokal masing-masing, yang oleh sebagian kalangan masih dijadikan patokan.
Pedoman prakiraan cuaca ini tentu diharapkan dapat mengurangi gagal panen yang mungkin terjadi karena masa kemarau.*

Saat Tren Tagar di Rumah Aja, Bertani Menjadi Aktivitas Relatif Aman

Pekan-pekan berlalu pelaksanaan imbauan #DiRumahSaja, di Indonesia banyak dinilai oleh berbagai pihak kurang efektif. Indikatornya itu dilihat dari posisi negeri ini sebagai negeri dengan case fatality rate termasuk urutan tertinggi dunia (8,8%). Seperti dikutip oleh detik.com akhir bulan lalu, dari laporan harian Juru Bicara Pemerintah Covid-19.

Persoalan lain, dampak ikutan dari anjuran itu pun merebak pada dimensi psikologis warga yang booring berada di rumah terus, tanda dapat berbuat hal-hal produktif untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

Namun ada yang agak terlupakan dari perhatian kita, misalnya kebiasaan cocok tanam. Bercocok tanaman adalah warisan klasik warga daratan yang mulai hidup menetap untuk mempertahankan diri mereka mendapatkan makanan sehari-hari.

Bercocok tanaman juga kelanjutan budaya dari kebiasaan budaya berpindah-pindah pola budaya berburu pada sistem perkembangan kehidupan manusia pada berbagai kawasan budaya sebelumnya.

Belakangan tatkala perkembangan peradaban kian melesak maju, serta kebutuhan manusia mulai berkembang, bertani atau bercocok tanam mulai banyak dihindari, untuk menyebut hanya sebagian kecil warga yang mengembangkannya.

Seolah bertani tidak menjadi profesi yang trendy. Padahal pertanian adalah aktivitas yang cukup membantu menopang kehidupan dunia, sebagai penyuplai aneka kebutuhan pangan makhluk menghadapi kehidupannya.

Tetapi tatkala corona mulai merebak dengan sedemikian rupa dahsyatnya, aneka aktivitas yang memerlukan mobilitas tinggi dihentikan oleh kesadaran kolektif warga untuk menghindari corona. Sedangkan, aktivitas bertani menjadi profesi yang relatif bertahan baik. Terutama yang dilakukan secara tradisional. Seperti juga disarankan oleh kementerian pertanian

Walau disadari bertani modern tidak sekedar bercocok tanam, tetapi dalam rangka menghadirkan aneka komoditi pertanian, hingga menghasilkan produk siap santap, bidang ini dapat melakukannya secara langsung dan mandiri.

Contoh sederhanya yang dapat dilakukan semua keluarga yaitu bertani dalam skala kecil. Misalnya memanfaatkan halaman atau di lokasi sekitar rumah tempat tinggal mereka. Aktivitas bertani hampir dipastikan tetap dapat dilakukan.

Tentu kita harus memilih cara dan bentuk bercocok tanaman yang paling memungkinkan sesuai situasi rumah masing-masing. Tak terlampau menjadi persoalan. Serta tidak harus saling ketergantungan dengan aspek lain.

Inilah hebatnya bertani di saat genting seperti ancaman covid-19 ini. Relatif paling aman. Seta tetap dapat bertahan.***