Gerakan Infak untuk Masjid Al-Jalil

مَنْ بَنَى مَسْجِدًا بَنَى اللَّهُ لَهُ مِثْلَهُ فِي الْجَنَّةِ

Artinya:

“Siapa yang membangun masjid karena Allah, maka Allah akan membangun baginya semisal itu di surga.” (HR. Bukhari no. 450 dan Muslim no. 533)

Mari Peduli Masjid Aljalil !!!

Tampak muka perkembangan pembangunan Masjid Al-Jalil [Sumber foto: panitia]

Masjid Besar Al-Jalil Kecamatan Surade, merupakan masjid tingkat kecamatan Surade yang posisinya sangat strategis dari sisi pengembangan dan peran dakwah Islamiyah di kawasan Sukabumi Selatan.

Saat ini, masjid tersebut sedang melakukan pembenahan fisik bangunan dengan cara pembangunan dan rehab total. Dan tentu saja karena sampai tulisan ini diposting masih berlangsung, saat ini baru mencapai tahap 4 tahapan kerjanya, menurut keterangan Ketua (pjs) Panitia Pelaksana, H. Dali, S.Ag, saat ditanya oleh Admin, dan masih sangat membutuhkan uluran tangan kita semua.

Karenanya, mari kita menyalurkan kebaikan berupa wakaf atau infak dengan berbagai cara, sesuai dengan skema dan platform yang telah disediakan oleh panitia. Baik melalui visitasi langsung ke lokasi menemui panitia, maupun mengoptimalkan aneka media yang telah disediakan.

Kita dapat berpartisipasi, minimal subscribe dan like pada chanel kemasjidan aljalil surade, dengan alamat di sini, https://youtu.be/jajlIHt7qCQ

Dapat pula melakukan infak dengan digital money, langsung ke link untuk partisipasi infak itu, di sini, https://bit.ly/InfakAljalil_AmalSholeh, atau https://www.amalsholeh.com/rehab-total-masjid-besar-al…

Platform lain atau di sini, https://kitabisa.com/campaign/bantualjalil atau, https://bit.ly/Infak_KITABISA

Sementara untuk mengikuti dinamika prosesp embangunan itu, kita dapat mengeksplorasi lebih lanjut di situs ini, https://sites.google.com/view/wwwmasjidbesaraljalilorid/

Sementara untuk melihat perkembangan secara langsung dapat dilihat pada beberapa video berikut ini, yang menggambarkan pandangan secara spesial dari angkasa.

Youtube, berikut https://youtu.be/krNbBPdir8I Tampak Muka
https://youtu.be/jajlIHt7qCQ Tampak Keliling Bangunan
https://youtu.be/xSnVmHyrGHk Tampak dari Ketinggian Langit

Sekecil apapun perhatian Anda, sangat berguna bagi tempat suci itu. Insya Allah.[]

Beberapa alamat itu dapat discan pula disini,

Scan for Infak1

Atau ini,

Scan for Infak2

Bagian Sungai Untuk Lokasi Tangkap Ikan

Untuk menangkap ikan dengan hasil yang memuaskan, salah satu keterampilan yang baiknya dimilki oleh para pemburu ikan, ialah mengetahui secara jeli tempat-tempat atau lokasi yang disenangi oleh ikan.

Nah, pada lokasi itu, ikan suka berkumpul pada waktu yang relative lebih lama. Bahkan menetap. Jadinya, tentu jumlah ikan relatif lebih banyak di banding tempat lainnya. Ini merujuk pada kebiasaan ikan-ikan tertentu, terutama jenis ikan tawar, yang nongkrong di lokasi tersebut.

Berdasarkan pengalaman penulis, inilah tempat-tempat yang disenang ikan untuk beraktivitas dan bergerombol hilir mudik.

Apabila sudah menentukan lokasi, maka kita dapat menentukan cara tangkap, dipancing atau perangkap tradisional. Hindari cara-cara meracuninya.

Mana saja kategori tempat tersebut? Ini kawan.

1. Lokasi curugan air.

Area sungai yang terdapat curug, air terjun, baik alami maupun dibendung buatan, yang kemudian menghasilkan curugan, banyak disenangi oleh aneka macam ikan tawar.

2. Cekungan sungai.

Sungai yang meleok, akan menghasilkan struktur dasar sungai yang lebih dalam pada salah satu sisinya, dan sekaligus menyimpan aneka material, termasuk makanan yang terbawa arus air, sehingga ini amat disenangi oleh ikan karena mendapatkan pasokan pangan yang merekaa cari.

3. Kawasan lintasan ikan.

Pada saat banjir bandang karena hujan, air bergerak deras. Namun jenis ikan tertentu seperti mujair, kepiting dan lele, justru akan bergerak menuju hulu, untuk mengamankan diri dari kemungkinan terbawa arus air deras. Nah, saat melintasi itulah perangkap ikan atau proses penangkapan dilakukan. Jadi harus pasti pula dengan ketepatan waktunya.

4. Pangkal dan ujung area dalam. 

Pada beberapa sungai, karena terjadi secara alami ada lokasi yang relatif dalam dibanding dengan keseluruhan sungai, Ciri umumnya, kedalamannya melebihi ukuran kedalaman air pada rata-rata badan sungai. Tanda lainnya, air bergerak lambat, warna air lebih pekat, dan pergerakan air melambat.

5. Aliran sungai sempit.

Area sungai yang sempit, air relative akan bergerak cepat, tidak disenangi oleh ikan, tapi pada saat ikan bergerak, maka tempat ini menjadi strategis untuk membatasi ruang gerak ikan. Lokasi ini menjadi tepat, untuk menangkap ikan, karena terbantu oleh keadaan lokasi yang dihapit daratan. Badan air sempit memungkinkan penangkapan lebih mudah. Khusus untuk ikan yang sedang bergerak.**

Kerukunan Umat, Bukan Untuk Sesaat

Umat beragama hidup rukun, tentu menjadi harapan bersama. Kerukunan hidup itu merupakan citra, situasi dan kondisi ideal, dimana antar sesama anggota masyarakat (dan umat beragama) hidup dalam kenyamanan dan kedamaian.

Dalam organisme masyarakat terdapat sesuatu yang melekat. Salah satunya sistem kepercayaan atau agama. Nah, pengistilahan masyarakat yang beragama hidup rukun ternyata memiliki istilah sendiri, yaitu kerukunan umat beragama.

Kerukunan umat beragama secara sederhana dapat diartikan sebagai keadaan hubungan sesama umat beragama, yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, dan saling menghargai, kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya masing-masing.

Kerukunan juga, terlihat pada dimensi sosial umat beragama melakukan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dalam lingkup negara kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini.

Menelusuri penggunaan istilah “Kerukunan Umat Beragama” secara formal, ternyata digunakan pertama kali ketika penyelenggaraan Musyawarah Antar Umat Beragama oleh pemerintah pada tanggal 30 Nopember 1967 di Gedung Dewan Pertimbangan Agung Jakarta. Sebagaimana dikutip oleh kemenag.go.id.

Pertemuan ini merespon situasi yang terjadi, pada saat itu terhadap bangsa kita yang sedang mengalami ketegangan hubungan antar berbagai penganut agama di beberapa daerah. Hal itu perlu segera diselesaikan. Jika tidak segera diatasi, khawatir dapat membahayakan persatuan bangsa.

Belakangan ini, dari akumulasi perkembangan, terbentuklah wadah Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). FKUB ini bertujuan untuk membicarakan tanggung jawab bersama dan kerjasama di antara para warga negara yang saling berbeda agama. Keputusan yang diambil wadah ini merupakan kesepakatan yang mempunyai nilai ikatan moral dan bersifat saran kepada pemerintah dan majelis-majelis agama serta himbauan kepada umat dan masyarakat luas.

Tidaklah berlebihan wadah tersebut diadakan, sebab dalam realitas kehidupan pada masyarakat kita, agama merupakan masalah yang sangat peka (sensitif). Bahkan merupakan masalah yang paling peka di antara masalah sosial-budaya lainnya.

Ya, acapkali terjadinya sesuatu masalah sosial, akan menjadi semakin menjelimet (complicated), jika masalah tersebut menyangkut pula pada masalah agama dan kehidupan beragama. Itulah yang terjadi.

Sebuah analisa dari oleh S. Yuslian (‎2011) tentang terjadinya keruwetan tersebut menurutnya, disebabkan antara lain, karena situasi dan kondisi masyarakat kita terutama di daerah pedesaan sangat komunialistis. Dimana sebagian besar jiwa keagamaannya dibina dan dibentuk oleh lingkungan sosialnya masing-masing. Dikutip oleh iain-tulungagung.ac.id.

Dengan demikian, sangat dirasakan bahwa jiwa keagamaan orang-seorang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari jiwa keagamaan lingkungannya. Dus, pembinaan jiwa keagamaan pada umumnya merupakan warisan dari kehidupan lingkungan sosialnya.

Sementara itu, membangun dan membina kehidupan umat beragama yang harmonis bukan merupakan agenda yang ringan. Agenda ini harus dijalankan dengan hati-hati mengingat agama sangat melibatkan aspek emosi umat, sehingga sebagian mereka lebih cenderung pada “klaim kebenaran” daripada “mencari kebenaran”.

Situasi belakangan ini menghadapi pemilu nasional (Pileg-Pilpres) 2019, dimana antar kelompok baik intern agama, maupun beda agama, hampir selalu memanfaatkan sentimen dan jargon keagamaan dalam kaitan kepentingan politik tersebut. Untuk ini, masyarakat hendaknya memiliki kedewasaan bersikap serta wawasan yang memadai untuk menghadapi dinamika sosial-politik yang terjadi.

Berbagai benturan kepentingan atas dasar atau mengaitkan dengan agama tertentu, sebaiknya dihadapi dengan seksama, tidak gegabah, penuh pertimbangan, dan penghormatan hak mereka.

Sejatinya, boleh saja simbol agama dijadikan salah satu faktor pembentuk citra seseorang. Namun tentu saja harus dibedakan, mana sikap dan pencitraan diri atau kelompok yang diperbolehkan dan mana yang dilarang.

Nah, bagi kita semua, ada baiknya dapat membedakan, mana citra diri yang asli, mana yang dibuat-buat.***

Sumber : iain-tulungagung.ac.id, academia.edu dan kemenag.go.id

Gegara Covid Kita Konflik? Tujuan Pembangunan ‎Terabaikan

Seperti dugaan banyak warga, bahwa pemerintah akan memperpanjang Pemberlakuan Pengetatan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4, 3, dan 2, pada pekan ini. Ternyata iya. Perpanjangan PPKM dilakukan pada 10-16 Agustus 2021.

“Atas arahan Bapak Presiden Republik Indonesia, maka PPKM Level 4, 3, dan 2 di Jawa-Bali akan diperpanjang sampai tanggal 16 Agustus 2021,” kata Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan dalam konferensi pers, Senin (9/8/2021), yang dikutip oleh kompas.com.

Setelah penetapan itu, apa yang terjadi? Macam-macam responnya tentu saja. Namun, bila kita tilik dari aneka komentar dan postingan warga pada berbagai media sosial, kembali pada dua kubu. Warga yang menerima dan ada pula yang ngedumel.

Masyarakat sebagai bagian dari sistem sosial, realitasnya akan menghadapi konflik. Setidaknya konflik dalam pemikiran dan perasaan mereka. Itu pula yang terjadi tatkala PPKM Darurat diperpanjang.

Belum lagi dalam sistem sosial yang skala lebih besar. Antar negara di dunia. Padahal dalam situasi konflik imunitas, masing-masing pribadi dan ketahanan kedaulatan wajarlah bila berkurang.

Menghadapi situasi seperti ini, sebagai bagian dari sistem sosial yang ada, maka kita harus lebih berhati-hati dalam memahami konteks dan kenyataan yang terjadi.

Ada baiknya kita tidak terjebak pada arus liar. Bahwa, dalam ilustrasi penyelamatan ketika kita terseret arus liar yang berbahaya, maka jurus sebaliknya, justru memanfaatkan kekuatan arus tadi, sesaat waktu. Kita ikuti bagaimana itu arus. Tetapi pada saat yang sama, mencari celah untuk dapat keluar dari gelombang besar pusaran arus.

Nah, tatkala arus pengaruh Covid begitu membahana, maka ibaratnya kita mesti mengikuti bagaimana dan kemana arus pengaruh Covid ini. Lalu, pada saat yang sama kita memikirkan dan mencari solusi untuk hengkang dari situasi Covid. Tidak membiarkan diri diombang-ambing, tidak juga melawannya secara langsung, tidak justru menikmatinya berlebihan. Tetapi mengikutinya beberapa saat, lalu menghindarinya.

Itu tadi idealnya berlaku untuk perseorangan. Artinya korban tunggal. Namun bila korban adalah warga dalam sistem sosial, maka tentu harus ada kesepahaman, bagaimana kita merencana dan merumuskan cara untuk menghadapi ancaman arus liar Covid ini. Setidaknya sepaham untuk selamat.

Dalam sebuah sistem selalu dibentuk perwakilan, untuk memfungsikan diri mengatur keseluruhan anggota sistem. Nah, peran pengaturan itu kita percayakan kepada mereka yang sedang amanah saat ini. Bila kita sebagai anggota sistem sosial ingin mengajukan solusi, maka mekanisme perlu ditempuh agar tidak saling salah-menyalahkan. Alhasil, bukan keselamatan yang akan dicapai, justru cerai berai. Bila bercerai, yakinlah kekuatan untuk selamat menurun. Setidaknya, peluang berkurang.

Nah, momentum hijriyah 1443 saat ini nampaknya mengingatkan kepada kita untuk berubah menjadi lebih baik, dalam menata hati masing-masing, lalu menata sistem sosial kita, juga untuk menata kehidupan skala makro, menjadi lebih baik.*

Pikiran Liar, Menerka Arah Gerak Corona

Masa depan memang misteri dan rahasia. Karenanya, banyak orang yang menerka-nerka. Dihitung dengan runut. Direncana dengan matang. Bahkan digadang-gadang biar sesuai harapan. Tetapi tetap saja, (sebenarnya) masa depan itu tak terduga.

Walau dapat diterka-terka melalui perencanaan yang matang, mendetil dan sistematis, masa depan memiliki hukum dan kaidahnya tersendiri rupanya. Salah satu kaidahnya, ya tak pasti itu.

Kerena ketidakpastian inilah, kemudian kita diwajibkan usaha dan upaya. Dalam berupaya itulah kita sebagai manusia membutuhkan panduan dan pedoman hidup. Panduan hidup itu dapat berupa adat-istiadat dan budaya, sebagai manifestasi budaya. Hasil karya warga bumi. Juga dapat berupa informasi langit melalui wahyu.   

Disinilah nampaknya, pentingnya peran agama. Bahwa agama diyakini dapat menjadi solusi ketika manusia kehilangan atau sedang mencari arah kehidupan. Melalui informasi keagamaan berupa aturan. Sehingga manusia tidak sasar dan salah jalan.

Saat ini, di berbagai belahan bumi, kita sedang disibukkan dengan persoalan Corona. Corona varian Covid-19 (dan varian lainnya yang terbaru) rupanya menjadi tamu tak diundang, yang mampu merebut perhatian jagat raya.

Tak berlebihan kalau Covid-19 kita juluki sang bintang di luar dugaan. Karena hingga detik inipun, hampir segala persoalan di planet ini merujuk pada tingkah laku yang terkait dengan Covid-19. Covid telah menjadi bintang tersendiri yang menggeser popularitas berbagai hal.

Sayangnya, sang covid merupakan makhluk tak berwujud dalam kasat mata manusia. Sehingga kita kesulitan mengidentifikasinya dengan baik. Ibarat alien yang diterka-terka, dicerca dan dijadikan kambing hitam.

Saat ini sudah beredar luas aneka teori mengungkap kehidupan sang covid. Disampaikan oleh lembaga resmi berdasar hasil penelitian yang mendalam, hingga obrolan warung kopi warga biasa, yang tak berujung-pangkal.

Akumulasi berbagai informasi tentang covid menyudut pada realitas kehidupan makhluk “asing” yang kontra produktif dengan realitas kehidupan warga bumi, khususnya manusia. Covid dihakimi menjadi “pengganggu” kehidupan.

Covid begitu liar, dari pantauan gejala dan dampaknya yang terjadi pada realitas kehidupan kita. Kita hanya menerka-nerka dan mencoba merumuskan sejumlah “kebiasaan” hidup covid. Untuk menghukumi bagaimana ia berpengaruh negatif terhadap kita. Lantas, muncul berbagai gerakan untuk menghadapinya. Tanpa mengurangi validitas dan otonomi semua itu. Tentu, ini akan terus berlanjut sesuai dengan proses identifikasi kita terhadap Covid. Entah sampai kapan?

Kawan, mari kita sejenak lupakan covid. Dalam berbagai referensi adat, budaya, kearifan lokal dan informasi langit, makhluk pengganggu kehidupan manusia sering dideskripsikan. Mulai dari dedemit, siluman, hantu, syetan, jin dan sejenisnya. Kesemua itu hampir serupa dengan covid, sama-sama tak terlihat oleh kasat mata. Berarti ia berada pada dimensi alam atau kehidupan yang berbeda.

Hingga kini sebagai komunitas makhluk bumi, kita tetap dapat melepaskan keterpengaruhan yang sangat, dari kesemua jenis makhluk itu. Persoalan ingin menghadapinya lebih baik, kita tentu perlu mengungkap aneka informasi khusus oleh orang-orang khusus juga. Tetapi, ada baiknya tidak melibatkan dan menganggap persoalan bersama secara berlebihan.

Bisa jadi, kita banyak dipengaruhi praduga. Bukan oleh dampak dan akibatnya. Nampaknya, apabila kita abaikan, dalam arti image dan perhatian, sang bintang tak diundang, Corona akan malu sendiri. Secara otomatis redup popularitasnya. Perhatian publikpun dapat beralih pada hal-hal normal biasa.

Namun demikian, tidak berarti, kita abai dari akibat dan dampaknya. Sebab itu terbukti dan menjadi realitas. Ini berhubungan dengan sejumlah rumusan resmi yang sedang gencar saat ini. Patut diapresiasi dan diindahkan.

Jangan terlalu serius. Hehe. Ini sekedar pemikiran liar.*

Reka Bonsai Pohon Petai Cina

Pohon petai cina, lamtoro, petai selong (malanding, palanding, janglalab. Sunda) di kalangan masyarakat, banyak yang menyukainya sebagai lalapan favorit. Apalagi biji buah yang sudah matang, bila dicampur dengan lauk-pauk jenis asinan, dan pencampuran olahan ikan lain, nampak amat spesial. Penganan populer dari buah petai cina, misalnya urab, kukusan, dll. Tapi bila kita mengkonsumsi langsung juga tidak ada masalah. Terutama, untuk buah yang masih muda.

Tidak aneh apabila ada kalangan tertentu, yang merasa asing dan aneh terhadap masakan ini. Karena makanan ini menimbulkan bau yang kurang sedap saat dimakan. Tetapi sesungguhnya itulah letak sensasi jenis lalapan tradisional ini.

Tanaman liar ini, banyak hidup di sekitar sungai atau sawah. Tetapi sebenarnya sangat adaptif. Hampir semua jenis petai cina populer. Dapat tumbuh di berbagai kondisi lahan. Serta mudah cara pengembangbiakannya. Enteng pula menemukan bibitnya.

Artikel ini mengulas pemikiran dan teknis menjadikan pohon ini sebagai tanaman yang akan dibonsai. Kenapa memilih tanaman ini? karena tanaman ini memiliki keunikan tersendiri yang berbeda dengan tanaman lain. Selain manfaat daun, pohon dan buahnya, untuk kepentingan pengobatan dan lain-lain, ia juga memiliki keindahan lain, yang jarang kita amati secara seksama.

Di antara keindahan tanaman ini adalah rimbun daun yang hijau pekat. Bunganya yang kuncup seperti bola dan berbulu putih mekar bila sudah pas saatnya. Buah kecil bagai jari mungil manis menghijau. Serta buah dewasa yang terurai lebat dan menjuntai.

Inilah beberapa cara yang dapat Anda lakukan untuk menjadikan tanaman ini sebagai bonsai. Ikuti tahapan berikut ini:

  1. Usahakan untuk mengambil bakalan tanaman dengan cara mencangkoknya dari tanaman yang sudah berbuah, untuk mendapatkan buah sejak awal pada bonsai kita. Dalam beberapa kasus, bahkan tidak melalui pencangkokan. Cukup mengambil dahan yang mulus, tancapkan di tanah, di akan tumbuh. Pilihlah dahan bakalan cangkokan, dari dahan yang berbuah lebat, sehat dan memungkinkan letak, ukuran dan jenisnya.
  2. Lakukan pemangkasan periodik terhadap pohon ini, apabila sudah dipindahkan kedalam pot untuk bonsai atau media lainnya. Agar nampak sebagai bonsai yang unik nan eksotik. Ingat, pohon ini membutuhkan kedalaman media tanam. Untuk memperkuat akarnya. Pilihlah jenis pot yang dapat memaut media tanam yang memadai.
  3. Karakter pohon ini juga memiliki respon berbuah yang bagus, manakala pemberian air memadai. Tidak heran kalau hujan datang, ia akan berbunga. Waspadai pada musim kemarau harap diperhatikan penyiraman, lakukan secukupnya. Minimal 2 kali sehari sudah cukup.
  4. Untuk merangsang buah dan daun juga jangan lupa memberikan vitamin buah sewajarnya. Vitamin dapat anda teui di toko pertanian. Jangan dibiarkan tanaman ini hidup alakadarnya, sebab akan mengakibatkan kerdil dan menguning hingga susah berbuah.
  5. Hati-hati juga pada penanganan dan perawatannya. Karena pohon ini termasuk tanaman yang dahannya mudah patah dan sensitif pergerakan. Maka, pembentukan tampilan bonsai ini untuk mempertimbangkan kekuatan pohon dan berbagai dahannya, dengan meminimalisasi pergerakan.

Itulah upaya untuk menjadikan pohon petai cina sebagai bonsai. Pada saat musim berbuah dan berbunga, nikmatilah keindahannya. Selamat.***

Tanah Beraneka Fungsi, Dekat Secara Emosi

DALAM kajian sederhana saja tentang tanah itu, populer diketahui, bahwa unsur-unsur terpenting dari alam raya dan kehidupan di dunia ini, terdiri dari unsur tanah, air, api dan udara. Demikian, tanah menempati yang pertama disebutkan. Emosi kita dekat dengan tanah. Karena tanah merupakan spasial tempat kita berpijak dan hidup di atasnya.

Tanah secara fisik merupakan mineral yang terdiri setidaknya dari 4 hal, yaitu: bahan mineral, bahan organik, air dan udara Harry O. Buckman dan Nyle C. Brandy mengemukakan hal itu dalam bukunya, Ilmu Tanah, terbitan Bhratara Karya Aksara, Jakarta: 1982. Menurut Buckman dan Brandy, komposisi tanah terdiri dari benda padat 50% dan benda cair 50%.

Tak berlebihan kalau kita menyebut, bahwa tanah adalah bagian penting dari kehidupan. Karena manusia dalam arti fisik, diciptakan oleh Tuhan, juga dari saripati yang berasal dari tanah. Informasi ini sangat klasik dapat kita jumpai pada kitab Suci. Dari tanah pula sumber kehidupan manusia didapat. Dari tanah kita mendapatkan bekal hidup untuk makan, tinggal dan melakukan hampir seluruh aktivitas kita. Tanah menentukan kehidupan makhluk hidup.

Karena itu, tanah yang tandus banyak dihindari oleh makhluk hidup. Karena akan mengalami kesulitan mencari sumber makan di situ. Sebaliknya, tanah yang subur, hampir dipastikan aneka ragam makhluk hidup betah tinggal di situ. Tanah menjadi tanda kehidupan.

Sebagai tanda kehidupan, eksistensi tanah menjadi sangat sangat penting. Ini kita lihat dari sisi fungsi. Tanah dalam bahasan ini, dimaksudkan istilah untuk menyebut wilayah atau kawasan bagian dari bumi tempat kita tinggal di atasnya. Maka ulasan berikut ini mengarah pada pembahasan tentang tanah secara fungsional. Walau sangat disadari bahwa fungsi tanah juga turut ditentukan pula oleh keadaan fisik tanah tersebut.

Tanah yang diartikan sebagai wilayah, amat sangat biasa bagi banyak kalangan di antara kita. Rekaman kehidupan manusia sudah dikenalkan sejak ia terlahir dengan tanah sebagai tempat ia tinggal. Juga, karena tanah sangat lekat dengan hampir keseluruhan aktivitas manusia hidup. Memang ada sebagian kecil penduduk dunia, antara lain di perairan laut Jawa, ada yang tinggal di atas air. Setidaknya sebagian besar waktu mereka dihabiskan tinggal di atas perahu. Mereka dikenal manusia perahu di Myanmar, Banglades dan Vietnam. Atau kebiasaan agak mirip yaitu para awak kapal (laut). Mereka jarang tinggal di daratan. Tetapi sebenarnya, tinggal di daratan bagi kalangan ini tetap sangat didambakan.

Dalam kajian kebudayaan tentang penandaan, tanah dijadikan sebagai simbol kekuasaan, kejayaan, kewenangan dan kekayaan manusia. Dalam skala makro negara, tanah menjadi syarat sebuah negara diakui atau tidak eksistensi kedaulatannya oleh negara lain. Persoalan inilah sesungguhnya yang menimpa Israel berlarut-larut dan berkepanjangan. Yakni, status pengakuan resmi memiliki wilayah (tanah) kedaulatan atau tidak? Dalam kehidupan makhluk binatang (fauna) juga, tanah sebagai wilayah selalu menjadi rebutan zona teritori kekuasaan di hutan belantara.

Dalam ranah sosial, tanah adalah tanda status tingkatan sosial. Maka kepemilikan tanah, ibarat wajah dari seseorang, yang menampilkan gambaran keseluruhan status sosialnya. Status sosial dirinya dalam pentas panggung kehidupan. Netter amat mengenal ungkapan Tuan Tanah, untuk pernyataan kemewahan dan status sosial siapa yang menjadi pemilik dan penguasa (lahan) tanah tersebut.

Karena tanah berhubungan dengan kelas sosial, maka tanah bisa menjadi objek rebutan, tentang hal kepemilikannya. Maka lalu lahirlah administrasi tentang tanah, yang eksesnya dapat membuka perbedaan antarpersonal semakin mengangga. Dalam hal inilah paham komunisme menghilangkan kepemilikan perseorangan terhadap tanah. Tanah hanya milik negara yang digunakan sebesar-besarnya demi kepentingan rakyat.

Singkat kata, tanah menjadi tanda status sosial. Siapa yang memiliki tanah yang luas, maka seolah-olah status sosialnya lebih tinggi, dibandingkan dengan mereka yang menguasai lahan terbatas atau tidak memiliki lahan tanah sama sekali. Sekaligus menjadi tanda daya tawar mereka.

Kendati dalam kehidupan sosial, manusia yang saling ketergantungan, mestinya terjadi sinergi dalam hal pemanfaatan lahan tanah. Untuk pemilik lahan yang relatif luas, dapat berbagi garapan atau pemanfaatan tanah dengan mereka yang tidak, atau belum memiliki lahan tersebut. Sehingga akan mengurangi terjadinya lahan-lahan nganggur tidak tergarap. Pada saat yang sama, akan menciptakan harmonisasi antarstatus sosial dan pemerataan pendapatan.

Manusia hidup bermasyarakat tercipta dalam perbedaan antara satu dengan lainnya, dan itu adalah hukum sosial. Jadi, mengharapkan penyamaan status dalam hal kepemilihan lahan, misalnya, nampaknya mustahil terjadi. Karena itu yang dapat dilakukan adalah bagaimana dapat berbagi antar sesama untuk menciptakan kenyamanan masyarakat.

Dalam hal hidup bermasyarakat, kita menjadi sangat bergantung dengan keberadaan tanah. Tatkala tanah memberi anugerah dengan hasil bumi yang melimpah, maka peduli dan berbagi dengan sesama manusia mestinya mutlak dilakukan. Karena semua makhluk hidup di dunia ini, memiliki hak yang sama untuk mendapatkan kenikmatan dari limpahan hasil bumi. Persoalan dilakukan dengan cara jual-beli, hadiah, berbagi, hubungan bisnis, kerjasama, atau lainnya adalah hal teknis.

Sebaliknya, tatkala bencana terjadi berkenaan dengan tanah. Seperti longsor, gempa bumi, banjir, atau sejenisnya. Manusia begitu lemah menghadapinya. Bencana tidak pilih kasih dan pilah tebang, semua makhluk di area lahan bencana akan terkena dan merasakan dampratannya. Sinergitas masyarakat juga mutlak dilakukan, antara yang terkena dengan yang tidak, oleh bencana. Status sosial tidak menjadi kemewahan, yang dikedepankan adalah kebersamaan. Lantas, yang kemudian menjadi pertanyaan seberapa banyak perhatian kita terhadap lahan tanah? Tak pelak lagi, tentu sudah sepatutnya kita memuliakan tanah, agar hidup kita juga menjadi mulia.***

*Artikel ini pernah dimuat pada ucnews.com dengan judul berbeda

Menuju Kerja Barengan Pembinaan Anak-‎Remaja (2)‎

Bagaimana perasaan Anda bila mendampingi anak-remaja, apalagi anak sendiri, kemudian mereka minggat? Tentu merasa kecele, bukan? Tapi tenang kawan, itu adalah pelajaran berharga.

Emosi yang berkecamuk yang dirasakan oleh pendamping bila ditinggalkan oleh para anak dampingan tentu saja pengalaman pahit. Tapi pengalaman berharga itu, bukan tanpa alasan. Setidaknya kita menduga ada beberapa sebab.

Kita coba tebak, pertama mungkin cara dan gaya pendampingan kepada mereka, kurang disenangi. Sebab lain, mungkin juga peran serta para tetua (orangtua) yang selama ini menjadi figur yang diharapkan dekat dengan mereka kurang merespon baik.

Nah, karena itu muncul pemikiran ada baiknya untuk menggelindingkan mekanisme pembinaan yang sesuai dengan harapan bersama, antara pihak pendamping dengan pihak orang tua difasilitasi untuk bertemu tatap muka, mengadakan temu wicara untuk bagi-beri keinginan dan informasi. Ini untuk menghilangkan rasa saling mencurigai pada akhirnya.

Sementara itu, sikap-sikap khusus masing-masing sebagai pernyataan komitmen pembinaan juga perlu dibangun oleh masing-masing komponen, yang mengarah pada kesepahaman.

Di luar itu, perangkat tetua yang secara kedudukan terlibat, umpama sekolah, kepala wilayah, lembaga pendidikan lain yang terkait dengan posisi anak-remaja binaan, diajak serta untuk memformulasikan gaya pembinaan yang dapat dilakukan bersama-sama.

Mekanismenya dapat ditempuh dengan anjang sono, latihan langsung di masing-masing kawasan atau tempat lokasi tiap lembaga berada, dan silaturrahim jumpa tokoh. Nah, saat itulah pemanfaatan kesempatan untuk sharing informasi dan kewenangan serta program yang dapat dilakukan bersama, atau terpisah tetapi mengarah pada pembinaan yang diharapkan.*

Urgensi Pengalaman Bagi Kehidupan (1)

Acapkali pengalaman itu kejam. Ada pula yang menyenangkan bila dikenang. Tidak sedikit yang menjadi pelajaran. Pengalaman berarti-tidaknya, amat bergantung pada konteks kondisi sosiologis yang terlewati dan daya cerna kita. Semua kejadian hendaknya disikapi secara arif, agar kita mampu menangkap “hikmah” berharga dari sepanjang lintasan sejarah hidup ini.

Dinamika seseorang hidup, bahkan sebuah organisasi, di tiap-tiap rumpun kehidupan tentu saja berbeda-beda, sesuai dengan pengalaman, tantangan, harapan dan kondisi serta situasi setempat.

Namun demikian, bukan berarti tidak ada hubungan antara satu dengan yang lainnya. Antara berbagai perbedaan itu, sesungguhnya ada hukum dan pola universalitas yang memiliki nilai dan gerak persamaan.

Salah satunya, kebutuhan untuk menentukan pola gerak ke depan menjadikan komunitas, sebagai sebuah lembaga yang memiliki kesamaan visi antar berbagai latar anggotanya.

Kali ini, penulis hendak memaparkan sebuah pengalaman pembinaan yang dilakukan di sebuah komunitas. Hal ini barangkali bisa menjadi setitik embun penyejuk, atau mutiara hikmah  yang dapat memberi pencerahan bagi proses pembinaan di tempat dan waktu yang berbeda, tapi konteksnya sama bagi siapapun.

Deskripsi ini, boleh jadi adalah sebuah ungkapan rasa, dongeng atau kisah semata yang terjadi pada seseorang, tapi setidaknya memberi gambaran kepada para pembaca untuk menjadi bahan pertimbangan terutama dalam proses pembinaan sebuah perhimpunan apapun bentuknya.

Mungkin juga untuk hal-hal lain, siapa tahu. Ini tidak dimaksudkan untuk mencorengkan lembaga yang kami pernah singgah di dalamnya. Juga tidak dimaksudkan untuk menjelekkan berbagai tarekah sendiri: upaya pendidikan, usaha dan cara pengelolaan pembinaan. Apalagi mencerca lembaga, tidak dimaksudkan untuk itu.

Lebih menjadi sebuah upaya komunikasi untuk mencari tahu dan sharing pengalaman dengan para pembina, pendamping, fasilitator, atau praktisi pembinaan organisasi pendidikan lain di lapangan.

Salah satu lembaga pembinaan kami berada di pinggiran Kota Bandung, waktu itu. Tepatnya, kecamatan perbatasan dengan wilayah kabupaten. Anak didiknya terdiri dari remaja muda belia yang paling mendominasi, dan ditambah oleh anak-anak muda remaja dua remaja awal. Pengklasifikasian ini saya mengacu pada perkembangan secara psikologis umum saja.

Anak, remaja itu, secara umum mereka tinggal di kompleks perumahan. Sebagian kecilnya, 25% berada di pemukiman umum, atau anak-anak yang bertempat tinggal di pemukiman perumahan biasa. Latihan dilaksanakan pada seminggu sekali mengambil waktu Hari Kamis, sehabis jam pelajaran di sekolah SD  mereka. Namun kadang-kadang, pembina mengadakan pemusatan latihan atau latihan tambahan hari-hari biasa. Memilih inisiatif Hari Ahad untuk latihan tambahan. Latihan tambahan itu dimaksudkan dalam rangka memperdalam, memusatkan perhatian dan menggembleng keterampilan serta pengujian kecakapan tertentu. Eh, …* (bersambung)

ILA AINA TADHABUUN,‎ Hendak pergi kemana?‎

Berawal dari pemikiran bahwa organisasi adalah sistem yang total (total system) yang terbagi pada sub-sub sistem (dimensi struktural, fungsional, dan sektoral) yang menuntut sosok yang ideal, maka kesemua komponen itu harus benar-benar berjalan secara serempak, seiring simultan dan frontal (terdepan), komunikatif dan harmonis.

Dalam pemaham itu pula, ada yang memahami bahwa organisasi sebagai keseluruhan, maka ada pengklasifikasian dan pembatasan wilayah garapan. Hampir semua ahli sepakat, bahwa organisasi ibarat sebuah telur. Kalau dianalogikan sebuah telur, administrasi adalah kulit luar yang akan menopang semua struktur telur, terutama hal-hal yang peka dan inti. Lapisan luar dimaksud adalah setelah urutan lapisan managemen, kepemimpinan, tata usaha dan human relation.

Karena administrasi sangat luas cakupannya, yang sebagai kulit luar itu, maka kemudian para ahli membagi segmentasi administrasi pada tataran proses, fungsi dan kelembagaan. Akumulasi tatanan itu adalah mengarah pada satu titik api (fokus) yaitu tujuan.

Sektor lain dari sebuah organisasi, yang juga merupakan lini penting adalah perencanaan. Perencanaan adalah upaya untuk mengurangi resiko kerugian yang akan menimpa pada organisasi yang sedang manggung. Perencanaan juga, hakikatnya adalah pemilihan dari alternatif-alternatif yang ada. Harold Koontz dan Cyril o. Donnel mengemukakan planning is the function a manager which in volyves, prosedurs and programs, perencanaan adalah fungsi seorang manajer dalam memilih tujuan, prosedur dan program. Berkenaan dengan inipun jenis perencanaan terbagi-bagi pada budget, program, prosedur, objektif dan goal.

Dalam pencapaian suatu tujuan atau target, sebagai manusia kita pasti dihadapkan pada suatu proses. Proses itu bergulir sesuai dengan zaman dan perkembangan. Hal ini, menuntut pencapaian tahap demi tahap. Karena tahapan itulah maka ada yang disebut rencana kerja (renja) jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek.

Pada tataran operasional, suatu organisasi lebih menspesifikkan keinginan (target) pada bentuk renja itu sendiri, kemudian program kerja, naskah usulan kegiatan (nuk), petunjuk pelaksanaan (juklak), juknis (petunjuk teknis) dan petunjuk-petunjuk serta pedoman lain termasuk di dalamnya rencana latihan (satuan pelajaran) dalam pembelajaran resmi di sekolah, misalnya.

Renja adalah konsepsi dari suatu tindakan yang akan dilakukan dalam pencapaian suatu tujuan yang ditetapan secara baik. Penetapannya dilakukan pada arena musyawarah. Yang acapkali kita dengar seperti musyawarah anggota, musyawarah kerja, munas, konferca, atau istilah sejenis lainnya.

Karena suatu renja bergulir dalam konstelasi waktu, maka –seolah-olah– ada kesepakatan untuk membuat prinsip-prinsip pada setiap zaman. Prinsip-prinsip dari perencanaan tersebut, harus mampu menebak secara faktual tentang berbagai permasalahan, baik yang prinsip maupun teknis, segala sesuatu yang berhubungan dengan proses pencapaian tujuan.

Dalam hal ini, Hasibuan juga memberi saran yaitu: mengarah pada tujuan, efesiensi (murah dan mudah), patokan bergerak (dinamis), waktu yang direncanakan (singkat dan tepat), komunikasi lancar dan sukses. Sejalan dengan pemikiran ini, Hamzah menuliskan juga kriteria rencana yang baik, yaitu: simpel, fleksibel, stabil (mapan), faktual, rasional, kontinue, dinamis, pragmatis, akurat dan sistematis.

Lieurnya?, Inti dari perencanaan menurut Hasibuan, lanjutnya, adalah pemilihan hal-hal fundamental serta alternatif pemecahannya. Dengan demikian, rencana mengandung dua unsur yaitu tujuan dan pedoman. Berlanjut dari prinsip itu, kemudian prinsip umum perencanaan –untuk semua komponen rencana– diwujudkan pada penuangan yang menjawab 5W dan 1H.

Mungkin anda bertanya-tanya, kalau demikian apa beda renja, progja dan nuk, serta mungkin juklak dan juknis? Jawabannya, renja adalah hal yang sangat global, tidak merencanakan waktunya kapan, siapa penanggung-jawab, dan apa macam kegiatan. Progja, sebaliknya memuat itu, terutama pada tatanan waktu dan anggaran pembiayaan. Sedangkan nuk (proposal umumnya kita menyebut) lebih cenderung suatu program yang akan digulirkan pada waktu yang benar-benar terhitung, di samping rencana lain pada semua unsur yang terlibat.

Pokoke sudah oke, kalau kegiatan itu akan dilangsungkan. Juklak dan juknis sifatnya mengatur secara teknis dan detil serta terukur, bagaimana kegiatan itu dilakukan.*

Bagaimana? okey!

BAHAN BACAAN

Siagian, Sondang P., Peranan Staf dalam Managemen, Gunung Agung, 1980: Jakarta.

Ya,qub, Hamzah, Menuju Keberhasilan Managemen dan Kepemimpinan, Diponegoro, 1984: Bandung.

Hasibuan, Malayu SP. Managemen; Dasar, Pengertian dan Masalah, TP. , 1983, TT.