Sosial Politik Nusantara Awal Abad ke-20, Menggugah Gerakan Pemuda Indonesia

s_1807011_lowres

L. Stoodard mengungkapkan dalam Dunia Baru Islam, bahwa, Indonesia sebelum merdeka sangat populer dengan sebutan Nusantara. Baru setelah terjadinya peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928, nama Indonesia dipopulerkan sebagai alat pemersatu suku-suku dan etnis-etnis yang ada di Nusantara waktu itu (1963: 66).

Nusantara adalah istilah yang digunakan pertama kali oleh pejabat Kerajaan Singasari, untuk menyebut kepulauan (seputar wilayah Indonesia saat ini) selain Jawa. Nusantara juga merupakan sebutan pengganti dari Wilayah yang kemudian menjadi Indonesia (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1989: 74). Walaupun ada beberapa pendapat lain, menyebutkan bahwa, Nusantara itu mencakup Philipina, Malaysia dan Singapura sekarang. Sedangkan penggunaan istilah Indonesia untuk menyebut wilayah Indonesia secara geografis, pertama kali digunakan oleh seorang etnolog Inggris yaitu J.R. Logan, pada tahun 1850, yang menggabungkan dua kata Yunani “india” yang berarti penghasil rempah-rempah, dan “nesos” yang berarti kepulauan. Jadi Indonesia berarti adalah kepulauan yang menghasilkan rempah-rempah (Usman, 1960: 41 dan Poesponegoro, 1992: 286). Penulispun memahami bahwa, penggunaan Nusantara pada kesempatan ini adalah istilah untuk menyebut wilayah kepulauan sebelum Indonesia merdeka, yang menjadi wilayah kekuasaan Republik Indonesia sekarang.

Secara geografis, Nusantara memiliki peranan dan status yang sangat istimewa, sebagaimana digambarkan oleh Sam Ratulangi dalam bukunya Indonesia di Pasifik (1982: 131), bahwa posisi Nusantara di belahan dunia setidaknya, memiliki dua keunggulan secara kultural dan ekonomis, karena diapit oleh dua benua dan dua samudra, yang menjadi pusat penghubung lalu lintas perdagangan dunia. Kondisi demikian membawa akibat dan pengaruh yang menyeluruh pada aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain.

Sudah dimaklumi bahwa Indonesia pada awal abad ke-20, sedang dikuasai oleh bangsa Belanda sampai datangnya penjajah Jepang tahun 1942. Tanda permulaan abad ke-20, untuk wilayah Nusantara di antaranya ekonomi pesat dan perluasan jabatan, dari pasifikasi pemerintahan Belanda untuk wilayah luar Jawa. Belanda menerapkan politik kesejahteraan (ethis, asosiasi dan kemakmuran), sejak pidato Ratu Belanda (Kartodirdjo, 1992: 38).

Sebagaimana negara-negara jajahan Belanda yang lainnya, Nusantara juga berada pada status negara terjajah dan sadar akan keharusan merdeka dari penjajahan, hal ini terbukti dengan munculnya berbagai organisasi yang berhaluan “modern” dan klasik, sebagai respon dan pernyataan sikap terhadap penjajah, setelah terjadi revolusi beberapa negara di Eropa Tengah, Secara khusus revolusi Prancis dan Turki Muda, mampu menjadi penggugah keberadaan negara-negara terjajah untuk menggemborkan sikap dan sifat negara mandiri, yakni negara merdeka, melalui kesadaran nasionalisme (Hardi, 1988: 97).

Sementara itu, Selamet Muljana menuliskan nasionalisme itu muncul seberapa luas dan berkembang, sangat tergantung pada cara berpikir warga negaranya. Nasionalisme adalah antitesis dari internasionalisme dan kolonialisme dan kepartaian (1986: 4).

Sesungguhnya, banyak penyebab timbulnya nasionalisme Indonesia, tetapi kalau digolongkan penyebabnya ada dua yaitu, secara eksternal: penindasan dari kaum penjajah, yang dirasakan semakin berat oleh kaum pribumi dan timbulnya revolusi di beberapa negara. Sedangkan, secara internal: semakin bertambahnya kaum terpelajar dan naiknya konjungtur serta kesadaran secara nasional mereka, yang telah lama dikuasai penjajah –Belanda dan Jepang (Pringgodigdo, 1991: IX).

Juga, nasionalisme adalah paham modern, lahir sebagai pernyataan kesadaran bernegara/berbangsa, kemerdekaan dan berdaulat, sehingga kekuasaan politik, ekonomi dan kebudayaan, ada pada tangan bangsa Itu (Endra, 1979: 247).

Singkatnya, mekanisme timbulnya nasionalisme di Nusantara, ini diilhami oleh munculnya Revolusi Prancis tahun 1789, dan Revolusi Turki tahun 1926, sebagaimana diungkapkan oleh para sejawaran secara sepakat.

Soekarno dan Mohammad Natsir pada waktu menghidupkan api semangat Islam zaman pergerakan, selalu memakai momen dan propaganda kemajuan yang dicapai oleh Turki. Sedangkan secara khusus di wilayah Nusantara yang merupakan bagian dari Asia, timbulnya nasionalisme bangsa Indonesia / warga nusantara, adalah setelah terjadinya Perang Dunia I, pada tahun 1918.

Di samping faktor politis tadi, yang tidak menguntungkan bagi kehidupan warga Nusantara, karena masih dalam kekuasaan Bangsa Belanda, yang waktu itu menerapkan pasifikasi wilayah terutama luar Jawa, maka sudah menjadi kepastian, ekonomi hampir keseluruhanpun dikuasai hampir sepenuhnya oleh orang lain (Poesponegoro, 1992: 57).

Bangsa pribumi waktu itu, hanya sekedar jadi tukang dan kuli, sedangkan orang bermodal adalah bangsa asing yang terdiri dari bangsa Cina, Arab, dan Belanda. Sebaliknya orang pribumi cuma sedikit yang mampu hidup menjadi lawan persaingan ekonomis. Namun, berkat semangat yang dipunyai Serikat Dagang Islam (SDI) untuk mencoba mengorganisir kaum muslimin, guna menyusun kekuatan ekonomis, maka terbentuklah kekuatan warga Nusantara pribumi di bawah SDI menjadi lawan ekonomi dari bangsa Cina.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa, timbulnya kesadaran nasionalisme adalah hasil kontak budaya dengan pihak luar, baik sebagai imbas dari menjalankan syari’at agama seperti menunaikan ibadah haji bagi ummat Islam, alasan ekonomis atau sekolah, bahkan dibuktikan lebih jelas dengan munculnya persatuan mahasiswa-mahasiswa Indonesia (Nusantara) di luar negeri, seperti di Nederland, dll.

Dalam bidang gerakan sosial, era ini adalah saat munculnya berbagai organisasi kemasyarakatan baik kepemudaan dalam perjuangan kemerdekaan, maupun dalam bidang etnis-kemasyarakatan, yang sesuai dengan perkembangan perjuangan bangsa Indonesia. Zaman ini, warga yang menduduki Nusantara mensiagakan diri dalam rangka berjuang secara kooperatif dengan penjajah, yaitu melalui aktivitas-aktivitas organisasi. Seperti munculnya, Budi Utomo, SDI, Muhamadiyyah dll.

Mengingat sangat perlunya usaha sosialisasi dan regenerasi organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan waktu itu, maka organisasi yang ada melebarkan “sayapnya” melalui pembinaan generasi muda, berupa organisasi underbow seperti pembentukan kepemudaan, pelajar, ibu-ibu, remaja putri, profesi, dan kepanduan (Suhartono, 1994: 100).

Pada mulanya, khusus untuk organisasi kepanduan (sekarang kepramukaan) di Nusantara, adalah upaya Belanda. Belanda membawa jenis pendidikan berasal dari Inggris, yakni Scouting. Dan Belanda sendiri memberi istilah dengan Padvinderij, di Nusantara Belanda mendirikan cabang dari organisasi kepanduan induk di Nederland, yaitu NPO (Nationale Padvinderij Organisatie), yang nantinya berubah nama menjadi NIVP (Nederland Indische Padvinders Vereeniging), karena kesulitan komunikasi akibat Perang Dunia I (Kwarnas GP, Bahan KPL).** (Mansur Asy’arie).