Pendekatan Kearifan Lokal Dalam Pengembangan Geopark Ciletuh-Palabuhanratu

Pendekatan Kearifan Lokal

Dalam Pengembangan Geopark Ciletuh-Palabuhanratu

Oleh : Mansur Asy’arie

 

Fenomena Gerusan Budaya

Gaya hidup dan kecederungan masyarakat di negara-negara ketiga, termasuk Indonesia, terutama generasi muda yang meninggalkan kekayaan leluhur berupa kearifan lokal, tidak serta merta terjadi begitu saja. Hal ini adalah akumulasi dari perilaku dan gaya hidup komunal bangsa. Maka pengembalian kecenderungan ini juga mesti dilakukan secara komunal dan permisif, dengan pemahaman, dukungan serta penerapan masyarakat kita secara bersama-sama, bahwa potensi warisan leluhur, berupa kearifan lokal adalah modal yang sangat berharga dalam rangka mempertahankan identias masyarakat.

Karakteristik pengembangan tersebut tentu harus dipahami dan disadari sejak awal oleh masyarakat, bahwa memerlukan proses yang telaten, waktu yang relatif lama dan sangat sangat menjunjung tinggi kebiasaan, tradisi lokal, dan penghormatan terhadap kekayaan alam, sebagai sebuah keseimbangan alamiah, dan penghormatan serta pengabdian kepada Sang Pencipta, sebagai rasa syukur.

Di sisi lain, tuntutan dan kecenderungan hidup yang mengadaptasi pengembangan inovasi, yang penerapannya dengan berbasis pada kemajuan teknologi informasi yang serba instan, digital dan pragmatis, bukanlah sesuatu yang tabu. Pengembangan ini bukan untuk mengganti proses panjang tradisi lokal, tetapi sebaliknya yaitu untuk mengefektifkan nilai-nilai warisan leluhur, dengan cara penjagaan originalitas warisan tersebut, keseimbangan dengan hukum-hukum alam, prinsip kehati-hatian dan penjagaan hasil-hasil bumi yang telah dianugerahkan oleh Sang Penguasa.

Selebihnya, berbagai upaya tarik-menarik kepentingan ekonomi, politik, sektarian, para pemodal, dunia usaha, komunitas dan pelanggengan kekuasaan berbagai pihak, antara lokal (daerah) dengan pusat, dalam praktik operasionalisasi pembangunan juga masih menjadi kendala.

Inilah antara lain sejumlah masalah yang dihadapi oleh kita dalam upaya pengembangan dan pembangunan masyarakat, khususnya kawasan Geopark Ciletuh-Palabuhnaratu. Karena itu, maka perlu dicari pendekatan, mekanisme dan kesepahaman berbagai elemen yang terlibat dalam rangka proses pembangunan, yang membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit ini.

 

Mencari Identitas Budaya Lokal

Kawasan Geopark Ciletuh-Palabuhanratu yang disadari belakangan ini berada pada sebuah spasial khusus, adalah takdir. Takdir ini menjadi anugerah tersendiri yang bersifat unik untuk setiap makhluk yang hidup di dalamnya. Hal itu, sebagai bukti dari kemahasucian, keagungan dan kemahakuasaan Sang Pencipta. Kita tidak bisa mengelak, untuk terlahir dan berada pada sebuah wilayah tertentu.

Takdir ini kemudian menjadi modal awal manusia yang hidup di belahan kawasan ini, untuk menentukan kehidupannya bersama-sama atau sendiri-sendiri. Sehingga dalam kurun waktu tertentu makhluk hidup di kawasan tersebut berinteraksi membentuk karakter khas-spesifik. Dalam pandangan antropologis hal itu kemudian menjadi ciri khas budayanya. Budaya setempat itu terjadi alami, sebagai entitas primordial. Kekhasan budaya dalam ikatan sosial dasar tersebut, menurut Steven Mock (2009), akan menjadi kekuatan utama.

Sebagai manusia yang terlahir dalam kesamaan takdir, di kawasan ini, maka tentu mempunyai proyeksi hidup yang dimungkinkan akan memperkuat identitasnya, dengan cara mempertahankan kebersamaan, persatuan, warisan leluhur, kearifan lokal dan identitas lainnya, sebagai pandangan komunal.

Tetapi mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Kirsten Kearney (2007), pada Constructing The Nation: The Role of The Ballad in Twentieth Century German National Identity with Special Reference to Scotland, bahwa pada Abad ke-20 perkembangan gagasan kesadaran spasial terbukti efektif menjadi kekuatan positif sebagai konsep untuk pembangunan masyarakat. Bahkan sesungguhnya pengakuan bahwa identitas komunal tidak selalu alami, melekat dan mudah, tetapi lebih merupakan konstruksi yang disengaja, yang dibuat oleh orang atau kelompok untuk kepentingan politik, sosial dan budaya yang berbeda. Pandangan ini lebih elegan, karena mengkolaborasi unsur takdir dan usaha.

Realitasnya, ada sejumlah elemen yang berkontribusi menjadi identitas dasar setiap orang, yang kemudian menjadi penentu kesadaran kebersamaan, senada dengan M. Quraish Shihab (2000), dalam Wawasan Al-Quran, yaitu:

  1. Tubuh fisik (yang meliputi warna kulit, ukuran, jenis rambut dan ciri-ciri wajah).
  2. Nama orang (nama individu, nama keluarga dan nama grup).
  3. Bahasa, belajar pertama untuk berbicara dan dengan yang satu menemukan dunia.
  4. Agama seseorang diindoktrinasi ke dalam.
  5. Sejarah dan asal dari kelompok satu dilahirkan.
  6. Kebangsaan seseorang, atau afiliasi etnis.
  7. Geografi tempat kelahiran.
  8. Budaya yang diwarisi.

Hal-hal itu sekali lagi dikategorisasikan sebagai faktor primordial. Artinya ada sejak manusia terlahir. Lalu menjadi identitas. Kendati wacana primordialisme juga mendapat kritik, karena tidak dapat menjelaskan asal-usul, perubahan dan pembubaran kelompok etnis secara tuntas.

Dalam konteks ini, Dumlupinar (2013) berpendapat bahwa identitas adalah konstruksi dan dibentuk sesuai dengan urgensi konjungtur yang ada. Dumlupinar mengajukan dua cara menafsirkan karakter komunal sebagai tipe ideal dasar: yaitu identitas primordial dibandingkan dengan indentitas instrumental.

Dalam terminologi primordial bahwa pelaku utama yang ethno-nation, yaitu komunitas yang menyatukan individu melalui persamaan etnik. Sedangkan Instrumental cara menafsirkan masyarakat yang menekankan aspek pragmatis dan situasional dari komunitas besar mereka.

Dengan demikian, kenyataan terbentuknya budaya lokal, baik melalui usaha sistematik maupun alami, merupakan ciri khas budaya lokal yang dapat dijadikan modal utama untuk memproyeksikan masa depan mereka menuju kesejahteraan.

Sejumlah identitas budaya lokal kawasan geopark Ciletuh-Palabuhanratu sudah diidentifikasi sejak lama, setidaknya oleh tim perumusan rencana induk pengembangan kawasan ini. Baik dalam bentuk potensi seni tradisi, warisan budaya sosial, aspek kekhasan goegrafis maupun ancaman kehidupan sesuai karakter lokal.  Kendatipun sosialisasinya masih belum gencar.

 

Menelisik Lingkungan Kawasan

Tentang situasi kehidupan lingkungan, terutama pandangan Postmodern, terjadi ambivalensi. Di satu sisi, hal ini ditandai dengan struktur global yang memungkinkan orang untuk melihat diri mereka sebagai warga dunia. Di pihak lain, mereka juga terikat diatur dalam bentuk negara bangsa yang mengikat warga untuk menjadi warga negara.

Karena itu, sebagai masyarakat dengan kehidupan komunal kita harus mengorientasi ulang tentang cara pandang bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Baik dalam entitas skala lokal, nasional maupun dalam konstelasi pergaulan dunia global. Sehingga tidak tercerabut pada bergaya global semata, tetapi melupakan kekayaan leluhur berupa kearifan lokal.

Fenomena globalisasi adalah kenyataan yang tak dapat dihindari. Adapun bangsa merupakan konstruksi modern. Walau terkadang, kebanyakan kita mengidentifikasi bahwa bangsa sebagai kontinuitas kehidupan yang terbentuk dari para pendahulunya, sebagai tradisi dan warisan. Sedangkan lingkungan kehidupan kawasan lokal terjadi lebih alami dan abadi sesuai dengan potensi anugrah Tuhan.

Dalam percaturan kehidupan lingkup geografis, simbol bangsa berfungsi untuk bernegosiasi dengan sesama bangsa lain, simbol lokal dengan budaya etnis tradisional, yang mengandalkan konten simbolis yang dimiliki secara unik, berfungsi untuk tarekah pensejahteraan. Pada saat yang sama, global, nasional dan lokal, merupakan relasi transformasi sosial juga diperlukan agar negara dapat menegaskan klaim dalam konteks politik modern sebagai perwujudan identitas tersendiri yang mandiri dalam percaturan global (dunia), dengan mengaruhutamakan kondisi lokal (kearifan lokal) sebagai perekat yang efektif dan kuat, untuk memberikan ikatan emosi sebagai sebuah bangsa.

Dalam hal upaya sinergitas kita kembali merujuk pada adigium tentang wawasan global, komiten nasional dan memperkuat potensi lokal. Untuk itu, perlu pembagian garapan secara jelas dan tegas agar tidak terjadi simpangsiur dan pencampuradukan kepentingan. Apalagi tatkala kawasan ini ingin menuju taman bumi internasional.

 

Rekonstruksi Budaya Lokal

Ide sebagai awal munculnya sebuah budaya, banyak dipengaruhi oleh sistem kepercayaan. Agama dalam teks,  imamat, liturgi, keyakinan dan jenis lain, sebagai fakta sosial umat beragama, mereproduksi diri mereka sendiri dari waktu ke waktu. Menurut Scott Atran (2010) ketika manusia berhubungan dengan ‘nilai-nilai sakral’, sering terbumbui oleh kepentingan instrumental dan tidak rentan terhadap negosiasi rasional. Kendati bentuk-bentuk pengamalan keagamaan memiliki kekuatan sosial otonom, yang sangat kuat.

Sesuai dengan ajaran agama, bahwa memperbaiki situasi umat manusia adalah kepentingan kita dan merupakan tanggung jawab moral untuk pembangunan, yang berdasar pada paradigma etika ajaran agama. Inilah potensi awal pemikiran budaya yang melekat kuat dalam masyarakat apapun.

Dalam upaya pembangunan masyarakat tentu berusaha untuk menciptakan identitas nasional yang kuat, mengakui keragaman dan keunikan rakyatnya identitas lokal, serta mengimbangi percaturan di dunia, jangan sekali-kali melupakan kekuatan pemikiran agama. Selain itu, bahwa pembangunan bangsa membutuhkan orang-orang lokal yang tersedia untuk berpartisipasi “mengambil alih” sebagian besar tugas negara untuk mengembangkan warisan leluhur mereka, yang bentuknya berupa budaya lokal.

Nampaknya beberapa pendekatan dapat dikemukakan untuk merekonstruksi budaya, antara lain dinyatakan oleh Ahmed N.A. Hassin (2015), yang berdasar pada penelitiannya di Irak, tentang situasi negara dalam konteks pembangunan berbangsa. Bahwa pendekatan budaya lebih sensitif untuk mempelajari masyarakat sipil, dan kebutuhan untuk mengambil pertimbangan heterogenitas adat sangat potensial, karena masyarakat sipil sifatnya tidak monolitik; bukan bentuk dan fungsi yang dibentuk oleh konteks tertentu. Dengan demikian, penting untuk memperhitungkan upaya yang lebih mencerminkan pendekatan budaya.

Hassin mengadaptasi konsep pemberdayaan yang dikemukakan oleh sejarawan Muslim klasik, Ibnu Khaldun tentang ashabiyah atau solidaritas sosial. Konsep itu, menyediakan platform teoritis yang relevan untuk memahami peran masyarakat sipil. Ashabiyah menyediakan pendekatan konseptual yang lebih sesuai dengan budaya, untuk mempelajari masyarakat sipil di kawasan tertentu, terutama Timur Tengah. Khaldun berpendapat solidaritas sosial di suku masyarakat ditemukan baik dalam formal, dan non-formal yang diselenggarakan oleh kelompok masyarakat, dan itu adalah alat untuk memobilisasi dan perubahan sosial-politik.

Dengan demikian, dalam pendekatan budaya, masyarakat sipil dikonseptualisasikan sebagai spektrum yang luas dari formal dan organisasi non-formal dan jaringan yang ada di luar negara, yang didominasi oleh tokoh-tokoh komunal (kelompok), yang dapat memiliki peran sosial-ekonomi dan politik, sesuai tipologi masyarakatnya.

Pendekatan budaya juga memberikan implikasi pembagian peran, sesuai dengan kekuatan dan posisi masing-masing, dalam komunitasnya. Isu ini disarankan oleh Mohamed A. Abdi. (2010), bahwa pelajaran pembagian peran ini pada praktek kemitraan, setidaknya memperhatikan hal-hal berikut:

  1. Rekonstruksi pasca identifikasi warga membutuhkan kemitraan strategis antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil untuk tugas pembangunan.
  2. Dalam pengaturan kemitraan, pemerintah yang harus mengambil peran utama dalam memainkan peran harmonisasi fungsi ketiga elemen.
  3. Sektor swasta memiliki peran pendukung penting dalam bidang pertumbuhan ekonomi dan merekonstruksi perkembangan budaya.
  4. Organisasi masyarakat sipil harus menunjukkan upaya kolaborasi yang kuat dalam keseluruhan restrukturisasi administrasi dan partisipasi masyarakat dalam urusan berbudaya.

Dalam pelaksanaan rekonstruksi budaya di kawasan ini menurut penulis, dapat dilakukan dengan upaya penggalian warisan kearifan lokal khas yang melekat pada masyarakat setempat, yang belum teridentifikasi secara jelas dan tuntas. Sebagai contoh antara lain adalah pengembangan irigasi dalam pertanian seperti Subak di Bali, Budaya Leuit Ciptagelar dalam sistem pertahanan pangan, sistem Huma dengan mekanisme yang benar berdasarkan warisan leluhur dengan sistem rotasi tempat dan waktu, dan akulturasi kearifan lokal lain, baik tradisional maupun modern terhadap berbagai bentuk budaya yang kian ditinggalkan generasi muda saat ini, dengan budaya-budaya lokal lainnya yang cocok dengan karakteristik kawasan.

Dus, pelaksanaan konstruksi budaya itu merupakan pewarisan nilai-nilai luhur tradisi lokal kepada generasi penerus adalah dengan interkoneksi dan trans generasi, agar marwah masyarakat tetap terjaga hingga waktu tak terbatas. Bisa jadi, hal itu menjadi sesuatu yang sangat mahal harganya. Bahkan, mungkin membutuhkan pengorbanan jiwa dan raga.**

 

Bahan Bacaan

Ahmed N. A. Hassin (2015), (Roles of Civil Society in Nation-Building and Postconflict Reconstruction in Iraq. Deakin University March, 2015. Diunduh pada 27 Februari 2017 dari laman http://dro.deakin.edu.au/eserv/DU:30079137/hassin-rolesof-2015A.pdf.

Dumlupinar (2013)  (The Construction of National Identity in Modern Times: Theoretical Perspective Hüsamettin İnaç Assoc. International Journal of Humanities and Social Science. Vol. 3 No. 11; June 2013. Diunduh pada 15 Maret 2017 dari halaman http://www.ijhssnet.com/journals/Vol_3_No_11_June_2013/24.pdf)

Josep R. dalam Recent Theories of Nationalism. Llobera University College London. Diunduh 20 Februari 2017 dari laman http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.134.2256&rep=rep1&type=pdf)

Mohamed A. Abdi. (2010), bahwa, (Dalam Conlict Resolution And Nation Building In Somalia. Dissertation. Department Of Political Science Atlanta, Georgia July 2010. Diunduh pada 27 Februari 2017 dari halaman http://digitalcommons.auctr.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1738&context=dissertations

Steven Mock (2009)., dalam Images of Defeat in the Construction of National Identity. University of London 2009. Diunduh pada 20 Maret 2017 dari laman http://etheses.lse.ac.uk/2735/1/U615684.pdf).

Wlemongar Gaye (2012) pada Rethinking Nation-Building: A Christian Socio Ethical and Theo-Political Task for Appropriating the Common Good. Loyola University Chicago. December 2012. Diunduh pada 27 Februari 2017 dari halaman http://ecommons.luc.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1349&context=luc_diss

SEJARAH, RELATIVITAS WAKTU DAN PERILAKU POLITIK

pengertian-sejarah

Tentang Sejarah dalam Waktu

Sejarah yang banyak ditulis adalah perilaku politik masa lampau. Politik adalah sejarah masa kini. Inilah salah satu diktum yang amat terkenal dalam kajian sejarah. Dalam terminasi ini, sejarah laksana atau bahkan diidentikkan dengan politik. Bahkan hakikat penggerak sejarah adalah politik.

Politik memandang sesuatu peristiwa amat berbeda dari dua sisi yang beda pula, bahkan terkesan kontroversi. Sebagai contoh yang amat populer, peristiwa Perang Diponegoro (1825-1830). Menurut Belanda Pangeran Diponegoro adalah pemberontak dan penjahat. Tapi, menurut bangsa Indonesia, Pangeran Diponegoro adalah pahlawan bangsa. Akhirnya, lantas, dirumuskan adanya hukum subjektivitas sejarah.

Pembentuk subjektivitas sejarah, ternyata sesungguhnya, bukan hanya pada persoalan beda sudut pandang, juga pada aspek lain, salah satunya waktu. Waktu mengamati peristiwa sejarah juga akan melahirkan subjektivitas termasuk perbedaan hasil/kesimpulan setelah direkonstruksi. Pada gilirannya, kemudian muncul beberapa paradigma usulan mengenai gaya penulisan sejarah seperti pendekatan sosial yang diusulkan Sartono Kartodirjo. Atau sekaligus harus membuat tulisan sejarah sejenis “tandingan”, seperti dilontarkan oleh Muhammad Qutb dalam Kaifa Naktubu al-Tarikh al-Islamy.

Mengingat begitu, masih banyak sejarah yang mungkin harus kita rekonstruksi kembali baik pada tataran metodologi maupun pada tataran tematis sejarah. Kalau para mufassir (al-Qur’an) sempat mengembangkan gagasan untuk membuat tafsir yang multipendekatan, tak ubahnya sejarah juga begitu. Konsekuensinya harus mendatangkan penulisan sejarah dalam berbagai pendekatan dan pemahaman, sehingga suatu peristiwa sejarah akan benar-benar dipahami dari berbagai aspeknya.

Subjektivitas waktu adalah persoalan sulit dalam kajian sejarah untuk diatasi. Bahkan, acapkali peneliti sejarah tidak menyadarinya, bahwa persoalan waktu amat penting keberadaannya dalam sejarah. Semakin dekat jarak waktu terjadinya peristiwa dengan waktu penelitian, maka akan semakin mendekati kebenaran (objektif) sejarah. Begitu juga sebaliknya. Namun, semakin dekat jarak waktu itu, justru akan semakin menguatkan ikatan emosional si peneliti sejarah. Kalau, kita terlalu dekat juga diduga akan mengaburkan persoalan. Karena terlalu terbebani oleh benak ingin mengungkap sesuatu dalam pikiran yang kurang jernih.

Mohammad Sobary, kritikus sastra dan peneliti LIPI, menyebutkan untuk merekonstruksi sesuatu peristiwa harus ada aspek tenggang waktu mendiamkan. Atau Dibeuweung samemeh diburakeun istilah Sundanya. Atau masa mengerami gagasan. Sehingga hasilnya akan semakin matang. Katakan saja begitu.

Waktu juga adalah faktor penting sejarah, di samping pelaku, dan tempat. Demikian dikatakan oleh Sutrisno, dalam History and Science (1975). Dalam pandangan Sutrisno, semua persoalan hidup manusia yang diperankan oleh tokoh sejarah di dunia ini, mesti berlaku dalam ruang dan waktu. Saking pentingnya unsur waktu dalam sejarah, Louis Gottschalk, penulis buku Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto, mensinyalir waktu sebagai lagam sejarah dan menjadi ciri khas dari lagu sejarah yang didendangkannya.

Sejarah juga nampak terpaut dalam tiga kotak: kekinian, kelampauan dan kedepanan. Maka sejarah menjadi kontinuitas penghubung antara tiga dimensi waku yang berbeda itu. Berkenaan waktu ini, ada kajian sejarah yang diakronik yang mementingkan unsur waktu sebagai sesuatu komponen terpenting adanya sejarah, sebagai ciri khas penulisan sejarah klasik.

Berkenaan dengan teori sejarah mengenai waktu, rasanya tidak lengkap, kalau tidak menyertakan hukum relativitas (nisbi) waktu, sebagai alat pencungkilnya. Walaupun ada perbedaan kronik, waktu dalam sejarah berdimensi sosial, sedangkan waktu dalam teori relativitas waktu berdimensi fisikal. Kendati demikian agaknya bukan hal yang “haram” kalau kita mencari tahu tentang hal tersebut. Karena itu penulis dalam kesempatan ini, akan mencoba mencari persamaan berikut perbedaan serta kerenggangannya.

Waktu dalam Relativitas

Para ulama –ahli teologi– dulu, berpendapat bahwa waktu adalah qadim. Dan itulah salah satu kelemahan yang dikritik oleh ahli teologi yang datang kemudian, sebagai suatu kelemahan teologis. Alasan ke-qadiman waktu adalah ada sangkut-pautnya dengan eksisitensi Tuhan yang ada terdahulu.

Ilmu fisika modern, seperti halnya pengetahuan lain, mengalami perkembangan sesuai hasil penelitian. Salah satu pendapat tentang waktu adalah pernyataan waktu adalah relatif. Relativitas waktu sama halnya dengan relativitas yang lain. Artinya, batasan waktu akan terkait dengan perisitilahan, batasan tempat atau ruang, dimensi, dan sebagainya. dalam Al-Qur’an dan al-hadits, banyak istilah pengganti waktu seperti kata al-dahru, al-yaum, hiin, al-zaman, al-waqtu dan lain-lain. Masing-masing kata itu, bermakna beda, baik tendensi, “lama”, kecenderungan dan penggunaannya. Sebaiknya kita membaca juga karya Quraish Shihab akan penjelasan perbedaannya.

Matra relativitas waktu yang terkenal, Einstein, tokoh matematika dan fisika, pernah menjadi pendobrak yang amat keras terhadap keyakinan dan hukum pengetahuan saat itu berkenaan dengan “waktu”, termasuk “mungkin” akan mengguncang teori waktu dalam dimensi sejarah.

Kenisbian waktu ada kaitan yang erat dengan unsur lain yaitu ruang, dan gerak. Karenanya ruang dan waktu adalah dimensi “materi” yang tidak dapat dipisahkan dan saling ketergantungan. makanya keduanya masuk pada tataran universum. Salah satu konsekuensinya, antara lain, suatu kejadian akan nampak berbeda, bila dilihat dari tempat yang berbeda, walaupun waktunya sama. Apalagi kalau waktunya berbeda.

Salah satu penyebab kenisbian waktu pendekatan sosial, salah satunya akibat dari membarus pada sisi relatif psikologis (dalam rasa). Akhirnya, hal itu diklaim bersinggungan dengan realitas. Kita sering menyaksikan suatu peristiwa hajat manusia di muka dunia ini, yang membuktikan relativitas waktu, contoh ketika nonton sepakbola yang disiarkan langsung oleh media elektronik, mampu menjawab perbedaan waktu satu tempat dengan tempat lain. Al-Qur’an menanggapi hal ini, menerangkannya pada ayat keempat surat 70, yaitu waktu di alam riil, alam gaib dan antara keduanya berbeda-beda. Makanya, versi Einsten meramalkan kalau manusia dapat menembus kecepatan cahaya, niscaya akan mampu pindah antartempat, dan antaralam, secara cepat, sekarang ke masa lampau atau sebaliknya.

Obsesi ini direalisasikan oleh orang Barat dalam bentuk perpindahan antartempat atau waktu, dalam karya sastra dan aneka kreativitas lain, seperti dalam film-film Hollywood, Time Trax dan judul segaya lainnya.

Relevansi Waktu dalam Sejarah dan Relativitas

Sekali lagi untuk mencari persinggungan ini, tidak mau tidak, mesti memperbandingkan keduanya. Untuk mencari relevansi itu, seyogianya kita cari titik temu asumsi relativitas waktu dengan hukum-hukum sejarah.

Sewaktu Seminar Tata Pikir Ilmiah Nasional yang diselenggarakan oleh SMF (Senat Mahasiswa Fakultas) Ushuluddin IAIN “Sunan Gunung Djati” Bandung, empat tahun kebelakang (?), Armahedi Mazhar, dosen ITB mengemukakan bahwa integrasi pendekatan sosial dan alamiah (nature), akan mengalami kesulitan pada sisi metodologi, terutama karena pembiasan pada objek penelitian. Namun demikian, tak bisa diragukan bahwa kedua ilmu pengetahuan –sebut sosial dan alam– adalah mencari kebenaran.

Kebenaran yang akan dicarinya menurut disiplin masing-masing. Belakangan ini, ditemukan bahwa kalau metodologi science alam, lebih pada menjelaskan dan menjawab fenomena yang telah lampau, telah dialami. Serta dapat memeperkirakan akibatnya secara tepat, atau mendekatinya. Maka, metodologi ilmu sosial, hanya akan mencoba menerawangkan masa depan, tetapi belum dapat menentukan (memastikan) bagaimana yang akan terjadi akhirnya.

Dinamika Politik Menjadi Bingkai Utama Sejarah

Sejarah bercerita tentang manusia. Maka segala aspek yang berkenaan dengan kehidupan manusia menjadi objek dan bagian yang dideskripsikan oleh para sejarawan.

Tetapi yang amat dominan, para penulis seolah mengatakan bahwa sejarah sebagai perilaku politik masa lalu. Sayangnya, sejarah menjadi jahat karena sejarah menjadi kelabu bagi si kalah dan bumerang bagi pengguna. Karena itulah wajah sejarah disebut sebagai ambigu, sesuatu yang berwajah dua. Di satu sisi, bagi penguasa, ia berrona sebagai seni yang menyenangkan, menghibur dan membut tentram hati. Tapi di sisi lain, sejarah jahat dan merusak, terkesan kejam dan membuat orang tidak enak tidur dan tidak tenang berbuat, karena dikambinghitamkan. Bagi korban.

Pada tataran idiologis, sejarah menjadi senjata ampuh untuk memberikan pemahamna nilai-nilai historis kepada generasi muda. Pola pikir generasi muda akan dibentuk melalui pemaham historis. Memformulasikan pembentukan kuat dalam karakter dan semangat hidup atau kecintaan kepada tanah air.

Namun, karena sisi inilah sejarah juga menjadi rusak dibikin seenaknya, untuk mengklabui dan membuat manusia buta dari kebenaran. Maka, munculah dalam tipologi historiografi, adanya buku putih dan buku hitam.

Tudingan berikutnya, sejarah dicap sebagai barang yang salah lahir. Bagai anak lahir tak diinginkan. Lalu, diinisiasilah semangat untuk mengubah metodologi sejarah dari sejarah yang pendekatan politik, pada sejarah dalam pendekatan lain, sejarah dari sisi seni, hukum, budaya dan ekonomi. Salah satunya disodorkan oleh Sartono Kartodirdjo tadi, yang mengajukan konsep sejarah sosial.

Sejarah boleh dikatakan sebagai kisah juga, termasuk tulisan. Sejarah sebagai kisah (lisan) akan menemukan bahwa sejarah hampir selalu dipenuhi dongeng semata, dongeng para penguasa masa lampau yang berkehidupan bergelimpangan kekayaan dan pamor, yang hanya mungkin (?) menjadi hiasan untuk merekayasa mimpi menjelang anak tertidur. Tapi, walau ketika sejarah (kisah) diekspresikan melalui tulisan, maka tentu sejarah selain harus menjadi indah, juga perlu pertanggungan jawab.** (Mansur Asy’arie)

BERSENI-BERSASTERA; KEMERDEKAAN MEMAKNAI

Di Indonesia, mempertanyakan kebebasan bersastera adalah hal yang terkesan ironi. Apalagi dewasa ini, publik kita sedang bergembira atas beberapa kemajuan transparansi, era sudah berubah, dan waktu telah berlalu. Namun, demikian, apakah hakikat kebebasannya ada atau tidak, wallahu’alam (?).

Kesempatan ini, penulis tidak bermaksud mencari tahu secara mendalam permasalahan kebebasan bersastera, tapi lebih cenderung pada pemanfaatan nuansa “kebebasan” waktu untuk bersastera. Sebagai illustrasi, kenapa kehadiran karya cerpen Bibir karya Putu Wijaya sempat membuat heboh, drama-drama kritis tentang kebebasan berpendapat masih digandrungi dan sejumlah ekspresi lain, sebagai pernyataan ketidak-bebasan berpendapat juga diminati.

Ibarat got wacana kebebasan bersastera di negara ini, tatkala saluran air itu tersumbat, maka airnya luber kesana-kemari tidak terkendali. Gagasan, ide maupun saran yang tidak tertampung oleh saluran, termasuk melalui sastera, meluap menjadi ungkapan-ungkapan yang tersembunyi tapi bernada kritis dan mendalam.

Secara internasional, perihal mempertanyakan hal ini, kita bisa bercermin dari kasus The Satanic of Verses karya Salman Rushdie yang diterbitkan oleh Virgi Pinguin. Sejak tanggal 26 Nopember 1988 –saat diterbitkan novel Rushdie pertama kali– hingga 25 desember 1990 –waktu Rushdie mengucapkan dua kalimah syahadat– adalah puncak gejolak dan konflik tentang kebebasan bersastera.

Satu tahun berlalu, Desember 1991, di Mesir ‘Alaa Hamid, penulis karya fiksi, juga kena getah akibat ulahnya sendiri, ia menulis hasil fiksi yang berjudul Masafah fi Aql Rajul, karya yang berisi tentang mimpi-mimpi yang meremehkan keberadaan Nabi SAW.

****

Sastera adalah ungkapan dari seseorang yang dituangkan dengan bahasa. Simbol bahasanya berragam sesuai dengan minat dan keahlian dan kepuasan. Bahasa vokal, instrumentalia, bahasa tubuh, tulisan, coretan dan lain sebagainya. Bahasa penyampaiannya juga kerapkali memakai cara sampiran. Sampiran dilakukan karena untuk memperindah, mengkhaskan, menyimpan, menyembunyikan dan memperhalus bahasa yang dikomunikasikan. Dengan bahasa lain, sedikit “mengkaburkan” maksud.

Dalam perspektif politik, sampiran muncul selain karena bermaksud membuat keindahan, juga karena tidak hadir sepenuhnya kebebasan bersastera. bahkan, tidak hanya kebebasan itu pula sebabnya, terkadang karena ada faktor lain yang juga memberatkan.

Realitas kehidupan manusia terkadang dihiasi oleh adanya sisi yang gelap. Hal itu menjadi beban dalam mengarungi lautan kehidupan ini. Meresponi masalah ini, sastrawan mencari pelampiasan yang secara psikologis dapat meringankan beban hidup itu tadi, yaitu melalui bersastera. Karena itulah, maka ada orang yang berpendapat, bahwa sasterawan berkarya adalah untuk menghilangkan stres atau menjauhi gejala-gejala sakit jiwa. Singkatnya, menjadi alat penghibur.

Masa Orba (Orde Baru) sastera tampil dengan format yang “diam-diam”, namun bernada berontak, sehingga terkesan takut dan kurang berani tampil. Hal ini, berkaitan dengan kebijakan politik bangsa. Sebaliknya, pada akhir-akhir ini, dalam penjelmaan dan pengakuan sebagai Era Reformasi, sastera tampil dengan bahasa lugas, langsung dan “blak-blakan”. Boleh jadi, sikap ini adalah sebagai “balas-dendam” terhadap pola aturan dan kebijakan pada masa Orba yang lalu.

Hal itu pun, tidak lepas dari setting sejarah yang sedang bergulir. Yakni, ingin menkontekstualisasikan berbagai harapan, ungkapan, saran, kritik dan petisi. Berkenaan dengan latar waktu ini, Korrie Layun Rampan, pengamat sastera, mengusulkan untuk pembentukkan periodesasi sastera baru, yang beliau usulkan periode Reformasi atau Angkatan 2000 (Republika, 23/08/98).

Sastera dalam konteks waktu, akan sarat dengan nuansa perubahan makna dan semangat. Betapa tidak, sang waktu berpengaruh dalam segala persoalan hidup. Teori The Great Time, bukti bahwa waktu mempengaruhi persoalan kehidupan termasuk bersastera, terlepas dari hanya sekedar teori. Semangat waktu (zeitgeist) tanpa diciptakan akan begitu saja mengalir, laksana air di pegunungan mengalir mencari tempat yang lebih rendah. Pembumian sastera yang “blak-blakan” akhir-akhir ini, khususnya di Nusantara, adalah juga bukti semangat zaman reformasi amat mempengaruhi semangat dan arti sebuah hasil karya sastera. Waktu yang sedang dijalani di tanah pertiwi ini lagi pesta bernuansa transparansi yang hampir kebablasan dan merenggang.

Peranan sasterawan atau penyair mensikapi zaman seperti sekarang ini, hendaknya arif dan bijaksana. Sasterawan adalah pencipta hikmah, perangkai kata-kata indah, pemilih bunyi-bunyi kata yang geli dan menggelitik. Bahasa yang sasterawan gunakan memanfaatkan fisik (tampilan) bahasa, makna dan mengharmoni kata demi kata secara padu, hingga mencuat makna yang mendalam dari untaian kalimat yang dibuat.

Penyair juga pemberi arti pada setiap kata-kata yang lahir. Walaupun kata-kata tersebut hanya sekedar bunyi, namun, dari kata-kata itulah tersembunyi arti yang menukik, seumpama permata yang tersimpan (lulu al-maknun).

Banyak ahli yang pernah meneliti hal ini, sehingga muncul istilah penelusuran makna dari bahasa (extention of meaning). Bahasa memiliki hakikat makna yang amat dalam. Segala maksud yang terdapat pada benaknya tertuang pada hasil karya. Segalanya menjadi berarti, sekecil apapun. karena setiap ungkapan memiliki makna tersendiri, maka sering ada ungkapan pribahasa “Berkata siang melihat-lihat, berkata malam mendengar-dengar”, artinya, hendaklah selalu berhati-hati dalam mengucapkan kata-kata, sepatah katapun.

****

Orang akan berkarya dalam bidang sastera kalau memiliki kebebasan pikiran. Kebebasan pikiran bukan berarti tidak memiliki masalah. Tapi, mentalnya bebas. Jernih merasakan dan memikirkan sesuatu objek. Kebebasan itu akan mampu melahirkan produk ekspresikan ide atau gagasannya. Orang yang serba sulit, mungkin saja dapat berkreasi. Tapi sebetulnya, dalam kepepetan itulah dia mampu mengekspresikan gagasannya secara bebas dan konsen.

Berpikir bebas adalah simbol dari kemerdekaan. Betapa orang menjadi sangat dikagumi karyanya karena mampu mengolah daya pikir yang bebas. Sama halnya dengan orang yang bebas secara politis dihargai keberadaannya, karena berarti mampu menjada harga dirinya.

Kebebasan dalam berekspresi adalah upaya menghadirkan suatu gagasan yang tadinya abstrak dalam curahan suatu hasil karya. Bisa berbentuk gerak, tulisan, ucapan, nyanyian atau sejumlah bentuk ekspresi lain.

Untuk menciptakan kondisi yang ideal, yang akan melahirkan tradisi bersastera secara baik, perlu beberapa komponen penentu dan pendukungnya. Di antara komponen penentu itu adalah, pertama, kesadaran para sasterawan terhadap perlunya perubahan corak sastera, dari yang terbungkuk-bungkuk karena takut ketahuan, menjadi berdiri tegap tanpa rasa kekhawatiran. Sasterawan benar-benar mengembangkan jiwa kebebasan yang bertanggung-jawab. Kekebasan yang benar-benar bebas, sebetulnya tak mungkin ada dalam tatanan bermasyarakat. Pembatas itu adalah aturan alamiah –kalaupun tidak disebut agama dan hukum– berupa etika, kebermanfaatan bagi ummat, dan kejujuran. Karena norma atau aturan itu akan selalu mengiringi laju hidup manusia bermasayakat secara spontan. Namun, yang dimaksudkan adalah setiap bentuk karya, selalu pertanggung jawaban moral dan sosialnya menguntungkan berbagai pihak.

Kedua, sistem politik yang sedang jaya, mendukung kehadiran karya sastera secara terbuka dan bebas adalah kebijakan negara tempat sang sasterawan berkreasi. Apakah hasil karyanya nanti disanjung atau ditenggelamkan, amat tergantung pada sejauh mana penghargaan negara terhadap suatu hasil karya sastera.

Ketiga, mentalitas para pengguna hasil karya sastera mengarah juga pada dukungan untuk memutar roda kehidupan sastera menjadi dinamis. Wallahu’alam.** (Mansur Asy’arie)