SEJARAH, RELATIVITAS WAKTU DAN PERILAKU POLITIK

pengertian-sejarah

Tentang Sejarah dalam Waktu

Sejarah yang banyak ditulis adalah perilaku politik masa lampau. Politik adalah sejarah masa kini. Inilah salah satu diktum yang amat terkenal dalam kajian sejarah. Dalam terminasi ini, sejarah laksana atau bahkan diidentikkan dengan politik. Bahkan hakikat penggerak sejarah adalah politik.

Politik memandang sesuatu peristiwa amat berbeda dari dua sisi yang beda pula, bahkan terkesan kontroversi. Sebagai contoh yang amat populer, peristiwa Perang Diponegoro (1825-1830). Menurut Belanda Pangeran Diponegoro adalah pemberontak dan penjahat. Tapi, menurut bangsa Indonesia, Pangeran Diponegoro adalah pahlawan bangsa. Akhirnya, lantas, dirumuskan adanya hukum subjektivitas sejarah.

Pembentuk subjektivitas sejarah, ternyata sesungguhnya, bukan hanya pada persoalan beda sudut pandang, juga pada aspek lain, salah satunya waktu. Waktu mengamati peristiwa sejarah juga akan melahirkan subjektivitas termasuk perbedaan hasil/kesimpulan setelah direkonstruksi. Pada gilirannya, kemudian muncul beberapa paradigma usulan mengenai gaya penulisan sejarah seperti pendekatan sosial yang diusulkan Sartono Kartodirjo. Atau sekaligus harus membuat tulisan sejarah sejenis “tandingan”, seperti dilontarkan oleh Muhammad Qutb dalam Kaifa Naktubu al-Tarikh al-Islamy.

Mengingat begitu, masih banyak sejarah yang mungkin harus kita rekonstruksi kembali baik pada tataran metodologi maupun pada tataran tematis sejarah. Kalau para mufassir (al-Qur’an) sempat mengembangkan gagasan untuk membuat tafsir yang multipendekatan, tak ubahnya sejarah juga begitu. Konsekuensinya harus mendatangkan penulisan sejarah dalam berbagai pendekatan dan pemahaman, sehingga suatu peristiwa sejarah akan benar-benar dipahami dari berbagai aspeknya.

Subjektivitas waktu adalah persoalan sulit dalam kajian sejarah untuk diatasi. Bahkan, acapkali peneliti sejarah tidak menyadarinya, bahwa persoalan waktu amat penting keberadaannya dalam sejarah. Semakin dekat jarak waktu terjadinya peristiwa dengan waktu penelitian, maka akan semakin mendekati kebenaran (objektif) sejarah. Begitu juga sebaliknya. Namun, semakin dekat jarak waktu itu, justru akan semakin menguatkan ikatan emosional si peneliti sejarah. Kalau, kita terlalu dekat juga diduga akan mengaburkan persoalan. Karena terlalu terbebani oleh benak ingin mengungkap sesuatu dalam pikiran yang kurang jernih.

Mohammad Sobary, kritikus sastra dan peneliti LIPI, menyebutkan untuk merekonstruksi sesuatu peristiwa harus ada aspek tenggang waktu mendiamkan. Atau Dibeuweung samemeh diburakeun istilah Sundanya. Atau masa mengerami gagasan. Sehingga hasilnya akan semakin matang. Katakan saja begitu.

Waktu juga adalah faktor penting sejarah, di samping pelaku, dan tempat. Demikian dikatakan oleh Sutrisno, dalam History and Science (1975). Dalam pandangan Sutrisno, semua persoalan hidup manusia yang diperankan oleh tokoh sejarah di dunia ini, mesti berlaku dalam ruang dan waktu. Saking pentingnya unsur waktu dalam sejarah, Louis Gottschalk, penulis buku Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto, mensinyalir waktu sebagai lagam sejarah dan menjadi ciri khas dari lagu sejarah yang didendangkannya.

Sejarah juga nampak terpaut dalam tiga kotak: kekinian, kelampauan dan kedepanan. Maka sejarah menjadi kontinuitas penghubung antara tiga dimensi waku yang berbeda itu. Berkenaan waktu ini, ada kajian sejarah yang diakronik yang mementingkan unsur waktu sebagai sesuatu komponen terpenting adanya sejarah, sebagai ciri khas penulisan sejarah klasik.

Berkenaan dengan teori sejarah mengenai waktu, rasanya tidak lengkap, kalau tidak menyertakan hukum relativitas (nisbi) waktu, sebagai alat pencungkilnya. Walaupun ada perbedaan kronik, waktu dalam sejarah berdimensi sosial, sedangkan waktu dalam teori relativitas waktu berdimensi fisikal. Kendati demikian agaknya bukan hal yang “haram” kalau kita mencari tahu tentang hal tersebut. Karena itu penulis dalam kesempatan ini, akan mencoba mencari persamaan berikut perbedaan serta kerenggangannya.

Waktu dalam Relativitas

Para ulama –ahli teologi– dulu, berpendapat bahwa waktu adalah qadim. Dan itulah salah satu kelemahan yang dikritik oleh ahli teologi yang datang kemudian, sebagai suatu kelemahan teologis. Alasan ke-qadiman waktu adalah ada sangkut-pautnya dengan eksisitensi Tuhan yang ada terdahulu.

Ilmu fisika modern, seperti halnya pengetahuan lain, mengalami perkembangan sesuai hasil penelitian. Salah satu pendapat tentang waktu adalah pernyataan waktu adalah relatif. Relativitas waktu sama halnya dengan relativitas yang lain. Artinya, batasan waktu akan terkait dengan perisitilahan, batasan tempat atau ruang, dimensi, dan sebagainya. dalam Al-Qur’an dan al-hadits, banyak istilah pengganti waktu seperti kata al-dahru, al-yaum, hiin, al-zaman, al-waqtu dan lain-lain. Masing-masing kata itu, bermakna beda, baik tendensi, “lama”, kecenderungan dan penggunaannya. Sebaiknya kita membaca juga karya Quraish Shihab akan penjelasan perbedaannya.

Matra relativitas waktu yang terkenal, Einstein, tokoh matematika dan fisika, pernah menjadi pendobrak yang amat keras terhadap keyakinan dan hukum pengetahuan saat itu berkenaan dengan “waktu”, termasuk “mungkin” akan mengguncang teori waktu dalam dimensi sejarah.

Kenisbian waktu ada kaitan yang erat dengan unsur lain yaitu ruang, dan gerak. Karenanya ruang dan waktu adalah dimensi “materi” yang tidak dapat dipisahkan dan saling ketergantungan. makanya keduanya masuk pada tataran universum. Salah satu konsekuensinya, antara lain, suatu kejadian akan nampak berbeda, bila dilihat dari tempat yang berbeda, walaupun waktunya sama. Apalagi kalau waktunya berbeda.

Salah satu penyebab kenisbian waktu pendekatan sosial, salah satunya akibat dari membarus pada sisi relatif psikologis (dalam rasa). Akhirnya, hal itu diklaim bersinggungan dengan realitas. Kita sering menyaksikan suatu peristiwa hajat manusia di muka dunia ini, yang membuktikan relativitas waktu, contoh ketika nonton sepakbola yang disiarkan langsung oleh media elektronik, mampu menjawab perbedaan waktu satu tempat dengan tempat lain. Al-Qur’an menanggapi hal ini, menerangkannya pada ayat keempat surat 70, yaitu waktu di alam riil, alam gaib dan antara keduanya berbeda-beda. Makanya, versi Einsten meramalkan kalau manusia dapat menembus kecepatan cahaya, niscaya akan mampu pindah antartempat, dan antaralam, secara cepat, sekarang ke masa lampau atau sebaliknya.

Obsesi ini direalisasikan oleh orang Barat dalam bentuk perpindahan antartempat atau waktu, dalam karya sastra dan aneka kreativitas lain, seperti dalam film-film Hollywood, Time Trax dan judul segaya lainnya.

Relevansi Waktu dalam Sejarah dan Relativitas

Sekali lagi untuk mencari persinggungan ini, tidak mau tidak, mesti memperbandingkan keduanya. Untuk mencari relevansi itu, seyogianya kita cari titik temu asumsi relativitas waktu dengan hukum-hukum sejarah.

Sewaktu Seminar Tata Pikir Ilmiah Nasional yang diselenggarakan oleh SMF (Senat Mahasiswa Fakultas) Ushuluddin IAIN “Sunan Gunung Djati” Bandung, empat tahun kebelakang (?), Armahedi Mazhar, dosen ITB mengemukakan bahwa integrasi pendekatan sosial dan alamiah (nature), akan mengalami kesulitan pada sisi metodologi, terutama karena pembiasan pada objek penelitian. Namun demikian, tak bisa diragukan bahwa kedua ilmu pengetahuan –sebut sosial dan alam– adalah mencari kebenaran.

Kebenaran yang akan dicarinya menurut disiplin masing-masing. Belakangan ini, ditemukan bahwa kalau metodologi science alam, lebih pada menjelaskan dan menjawab fenomena yang telah lampau, telah dialami. Serta dapat memeperkirakan akibatnya secara tepat, atau mendekatinya. Maka, metodologi ilmu sosial, hanya akan mencoba menerawangkan masa depan, tetapi belum dapat menentukan (memastikan) bagaimana yang akan terjadi akhirnya.

Dinamika Politik Menjadi Bingkai Utama Sejarah

Sejarah bercerita tentang manusia. Maka segala aspek yang berkenaan dengan kehidupan manusia menjadi objek dan bagian yang dideskripsikan oleh para sejarawan.

Tetapi yang amat dominan, para penulis seolah mengatakan bahwa sejarah sebagai perilaku politik masa lalu. Sayangnya, sejarah menjadi jahat karena sejarah menjadi kelabu bagi si kalah dan bumerang bagi pengguna. Karena itulah wajah sejarah disebut sebagai ambigu, sesuatu yang berwajah dua. Di satu sisi, bagi penguasa, ia berrona sebagai seni yang menyenangkan, menghibur dan membut tentram hati. Tapi di sisi lain, sejarah jahat dan merusak, terkesan kejam dan membuat orang tidak enak tidur dan tidak tenang berbuat, karena dikambinghitamkan. Bagi korban.

Pada tataran idiologis, sejarah menjadi senjata ampuh untuk memberikan pemahamna nilai-nilai historis kepada generasi muda. Pola pikir generasi muda akan dibentuk melalui pemaham historis. Memformulasikan pembentukan kuat dalam karakter dan semangat hidup atau kecintaan kepada tanah air.

Namun, karena sisi inilah sejarah juga menjadi rusak dibikin seenaknya, untuk mengklabui dan membuat manusia buta dari kebenaran. Maka, munculah dalam tipologi historiografi, adanya buku putih dan buku hitam.

Tudingan berikutnya, sejarah dicap sebagai barang yang salah lahir. Bagai anak lahir tak diinginkan. Lalu, diinisiasilah semangat untuk mengubah metodologi sejarah dari sejarah yang pendekatan politik, pada sejarah dalam pendekatan lain, sejarah dari sisi seni, hukum, budaya dan ekonomi. Salah satunya disodorkan oleh Sartono Kartodirdjo tadi, yang mengajukan konsep sejarah sosial.

Sejarah boleh dikatakan sebagai kisah juga, termasuk tulisan. Sejarah sebagai kisah (lisan) akan menemukan bahwa sejarah hampir selalu dipenuhi dongeng semata, dongeng para penguasa masa lampau yang berkehidupan bergelimpangan kekayaan dan pamor, yang hanya mungkin (?) menjadi hiasan untuk merekayasa mimpi menjelang anak tertidur. Tapi, walau ketika sejarah (kisah) diekspresikan melalui tulisan, maka tentu sejarah selain harus menjadi indah, juga perlu pertanggungan jawab.** (Mansur Asy’arie)

Penulis: mansurasyarie

MANSUR ASY'ARIE (yang lagi belajar menata kehidupan). DATA UMUM. Nama, Mansur Asy'arie (chun, mans, emegb). Alamat : Surade Kaler Rt. 06/02 Kel. Surade Kec. Surade Kab. Sukabumi 43179. Lahir di Sukabumi, 13 Mei. Pekerjaan: Wiraswasta (membina usaha sendiri Reganapoin: editorial, publishing, culture dan adventure). HP.: 08562269129, 089613722618, 085217143334. Email: mansur.asyarie@gmail.com, poin_surade@yahoo.com. YM: poin_surade, mansur_asyarie@rocketmail.com. Website: www.reganapoin.wordpress.com, www.reganapoin.co.cc. Isteri: 1 (satu) orang. Anak: 2 (dua) orang, Kaindra dan Regan. PENDIDIKAN, dimulai dari SDN 1 Pasiripis lulus tahun 1985. Lalu ke MTSN Pasiripis lulus tahun 1988. Melanjutkan ke PGAN Cibadak-Sukabumi lulus tahun 1991. Selanjutnya ke IAIN SGD Bandung, Fak. Sastra, Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, lulus tahun 1996. Lantas melanjutkan ke Pascasarjana UIN SGD Bandung, Konsentrasi Masyarakat Muslim (tidak tamat). Kini sedang mengikuti program Pascasarjana Minat Manajemen Administrasi Publik Universitas Terbuka Pendidikan nonformal yang pernah diikuti meliputi: Pelatihan jurnalistik 5 kali, Pelatihan kaligrafi, Pelatihan fotografi, Pelatihan kepembinaan (pramuka) mahir lanjutan, Pelatihan kepemimpinan (hingga advance) dan Pelatihan lain yang tidak dapat dituliskan di sini. PEKERJAAN. pernah menjadi reporter pada beberapa media: tabloid (majalah) News Otentik, Jurnal Sukabumi, Inspirasi; menjadi kontributor untuk Majalah Bekal Pembina (Jakarta), Majalah Pramuka (Jakarta), Tabloid (Majalah) Suara Cangkurileung (Bandung), dll. Pernah juga mengelola penerbitan (buletin) Biru (Bandung), AJS (Al-Jalil Surade), penerbitan buku Tarbiyah Press, Q-Center dan Tunas Nusantara (Bandung). Kini masih mengelola lembaga Regana Poin (Surade-Sukabumi). Mengelola yayasan sosial-pendidikan-keagamaan Al-Manshur Makmur Mandiri Abadi (AMMA) Surade-Sukabumi dan Penerbit AMMA. LAIN-LAIN. Terlibat aktif dalam berberapa lembaga keagamaan BAZ, MUI, ICMI, dll. Lebih lanjut dapat menghubungi via email.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.