Merdeka Untuk Kita

Tujuh belas Agustus tahun empat lima

Itulah hari kemerdekaan kita (baca Indoonesia)

Hari merdeka nusa dan bangsa

Hari lahirnya bangsa Indonesia …

Merdeka….. sekali merdeka tetap merdeka….

Selama hayat masih dikandung badan…..

Itulah petikan lagu Hari Merdeka. Lagu yang diciptakan oleh H. Mutahar, sangat populer di kalangan pelajar yang SD-nya tahun 1980-an. Mendengar lagu itu, bagi saya waktu SD, sangat menggetarkan jiwa. Bukan karena menjiwai dan paham makna lagu tersebut? Tetapi lebih dikarenakan lagu tersebut membangun rasa…. rasa yang memang mengekspresikan bagaimana gigihnya perjuangan untuk meraih kemerdekaan. Sekarang? Saya meragukan kalau anak-anak SD akan mengenang dan menghafalnya dengan baik. Apalagi menjiwainya. Atau memunculkan rasa tadi itu.

Ahad, 17 Agustus 2014 adalah hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia. Bukan karena telah melaksanakan Pilpres 2014. Walau iya, telah dilakukan pemungutan suara Pilpres 2014, 9 Juli yang lalu. Bukan pula karena aman dari serangan ISIS, yang berhasil merebut rating perhatian publik dunia. Bukan pula karena bahagia panen. Walau sebagian gagal. Tapi, bangsa Indonesia merayakan kemerdekaannya yang ke-69 tahun.

Bagi saya yang berusia berkepala 4, tidak begitu merasakan apa makna heroisme pada peristiwa kemerdekaan. Tapi mungkin bagi orangtua kita yang usinya kini telah kepala 8, nampaknya ingatan terhadap perjuangan untuk merebut kemerdekaan yang dicabik dan diaduboyongkeun oleh penjajah, tentu akan bermakna lain.

Terlepas dari itu semua, merasakan kemerdekaan adalah hak setiap kepala manusia. Setiap pribadi yang hidup. Setiap jiwa yang terlahir kedunia ini. Karena kemerdekaan adalah anugrah Allah kepada setiap makhluknya. Maka, tatkala belakangan ini, formalisme kemerdekaan baru dimaknai merdeka dalam arti formal bernegara, berbangsa dan hubungan rakyat dan birokrat, nampaknya patut dipertanyakan ulang.

Mungkin ya, kita merdeka dari sisi berbangsa dan bernegara, tetapi bagaimana praktik-praktik para aparat yang keparat kepada rakyat, yang tega nian memeras keringat mereka, yang akibatnya berikutnya, rakyat tambah melarat. Sungguh terlaknat. Apalagi kalau mereka (birokrat) berdalih untuk kepentingan umat. Wah, bisa-bisa kiamat. 🙂

Atau, perilaku politisi yang tidak ksatria dalam percaturan politik di negeri ini. Mereka semena-mena terhadap aturan yang mereka buat sendiri. Bahkan, seringkali mereka mengakali setiap peraturan yang telah diundangkan dengan berbagai cara dan upaya, yang penting kepentingan: pribadi dan golongan. Aturan bisa disesuaikan. Inipun praktik pembodohan yang kian menjadi.

Akhirnya rakyat gak punya pegangan. Mereka pun lantas dibuai oleh hedonisme kultural yang merebak menghancurkan secara sistematis pada semua sendi, normal dan etika, serta kearifan lokal bangsa.

Lantas, carut marutlah negeri yang didirikan dengan perjuangan yang tanpa kenal lelah. Cucuran darah dan gelimpangnya jiwa merebut dan memepertahankan negeri ini, hanya dihiasi oleh kepongahan pada hampir setiap elemen negeri.

***

Kawan, patut kita bersyukur masih diberi kesempatan untuk menghirup udara kebebasan dan kemerdekaan di negeri ini. Biarlah segala drama kehidupan ini, masih menyisakan adegan-adegan yang tak karu-karuan. Namun, kita masih ada sisa waktu dalam hidup ini, untuk kembali menata dan memformulasikan cita-cita pendahulu kita yang telah meletakan sendi-sendi perjuangan: merebut kemerdekaan.

Kita sebagai generasi penerus hanya melanjutkan regenerasi ini. Tetapi tentu kita tak mau para pejuang menangis di alam kuburnya, karena menyaksikan ketidakamanahan terhadap kemerdekaan yang mereka perjuangkan.

Bukankah, salah satu etika memuliakan leluhur kita adalah memberi do’a dan kabar terbaik tentang kehidupan yang kita jalani sekarang? Maka, sudah seyogianya kita menatap masa depan untuk lebih baik lagi. Searah perubahan zaman yang menuntutnya. Dipatri oleh nilai-nilai keadaban dan nilai luhur kehidupan bangsa yang dihembuskan bak angin sorgawi kepada haribaan arwah para pendahulu kita.

Masih panjang kehidupan ini. Tetapi, kalau salah mengarahkannya, maka kita telah merencanakan bencana bagi kita dan bagi anak-cucu kita. logo_hut_ri_69 merdAstagfirullah.

Membangun Paradigma Baru Kepanduan Indonesia

kitr

“Dik, kegiatan tambahannya selain jam sekolah: kepramukaan, bukan?”

“Bukan!” jawab anak-anak itu serempak .

“Ade ini, bagaimana?”

“Saya kadang-kadang mengikutinya” jawab anak itu, polos.

 

DEMIKIAN seorang reporter buletin Tunas melakukan tugasnya. Dia menanyai beberapa pelajar SD yang lagi berkerumun di halaman sekolah, sewaktu jam istirahat.

Boleh jadi, cerita itu adalah fiktif semata. Tapi, paling tidak itulah di antara hasil penelitian sebuah Gugusdepan yang berpangkalan di SLTP di Bandung tahun 1999 silam. Sebagai informasi tambahan, gudep tersebut, kendati berpangkalan di SLTP, keanggotaanya merekrut juga para alumni dan masyarakat sekitar pangkalan yang berusia Pramuka Penegak dan Pandega. Penelitian ini, dilakukan oleh sebagian besar para pramuka Pandeganya dan dibantu oleh beberapa orang pramuka Penegak.

Dari pernyataan itu kita mengetahui bahwa ada kecenderungan penurunan perhatian dan minat masyarakat terhadap kepramukaan. Pernah juga disinyalir oleh perwakilan tokoh masyarakat Jawa Barat yaitu Atang Ruswita, wartawan senior dan sekaligus sesepuh Harian Umum Pikiran Rakyat. Tokoh ini menyatakan bahwa masyarakat kita belakangan ini cenderung melupakan Gerakan Pramuka, termasuk aktivitas dan kebesaran masa silamnya. Demikian analisanya pada kolom surat kabar yang beliau pimpin beberapa tahun yang lalu.

Ada dua persoalan yang muncul kemudian. Tingkat motivasi dan perhatian masyarakat kita menipis. Kenapa hal itu terjadi? Tentu saja asumsi kita akan bermacam-macam. Tapi, agaknya tidak berlebihan kalau penulis punya pandangan sendiri. Menurut hemat penulis, kekisruhan itu, paling tidak, berawal dari penafsiran yang kurang menguntungkan terhadap konsepsi Gerakan Pramuka secara menyeluruh maupun parsial. Akhirnya, sistem pembinaan –kepramukaan dalam hal ini– menjadi kecepretan efek negatif penafsiran yang kurang tepat dimaksud.

Akibat berikutnya, pemikiran mendasar, sistematika dan metode serta manajemen kepembinaan dalam Gerakan Pramuka menjadi terbengkalai. Pembinaan menjadi sekedar sebuah rutinitas pemenuhan tugas jabatan yang alakadarnya saja dilakukan oleh para orang dewasa (pembina). Apalagi kalau pihak Majelis Pembimbing masih ongkang-ongkang kaki, tidak memberikan perhatian yang seharusnya.

Karena dibangun oleh pola pikir seperti itu, maka wajar saja kalau kenyataan masa kini (dan mungkin masa depan), pembinaan kepramukaan tidak memiliki daya saing yang pinunjul. Ini sejalan dengan pemikiran Dimitri Mahayana dalam bukunya Menjemput Masa Depan yang mengutip juga dari pendapat Stephen Covey, bahwa segala kreasi realitas sosial itu pasti mengikuti dua tahapan yaitu pertama pada tahapan gagasan (mental) yang ada pada alam idea dan tahapan kedua adalah pada alam realita.

Menganalogikan kutipan Mahayana ini, dan dihubungkan dengan perkembangan terakhir kepramukaan dapat kita simpulkan: ketika eksistensi Gerakan Pramuka mumet oleh segala masalah seperti pemaparan tadi, berarti berawal dari kemumetan pada tahapan idea, berupa sikap mental terhadap konsepsi.

Dengan kata lain, pada tataran opini, pendapat dan pemikiran terhadap Gerakan Pramuka banyak yang salah menafsirkannya. Apalagi pada tataran action-nya, mungkin sudah dapat kita prediksi akan sangat mungkin terjadi kesalahan, seperti realitas kehidupan kepramukaan yang kita saksikan kali ini.

Kapan kesalahan penafsiran tersebut terjadi? Ini laksana sebuah rantai jaringan setan atau seperti bertanya “mana dulu yang ada, telor apa ayam?” Sesuatu yang sulit diterka dan dicari penyebabnya. Karena pemikiran itu berkembang terus-menerus setelah tercetusnya Gerakan Pramuka. Sementara kesemrawutan sudah kadung terjadi.

Terlepas dari persoalan mana yang lebih dulu salahnya. Kenyataan itu, biasanya terjebak pada sebuah pola berpikir tertutup yang diterapkan untuk memahami konseps-konseps mendasar Gerakan Pramuka.

Di antaranya, dalih yang selalu dimunculkan sebagai sangkalan terhadap kondisi mengkhawatirkan itu adalah: bahwa pembinaan kepramukaan itu dikerjakan dengan “sukarela”. Maka, proses melakukannya secara “suka” dan “rela” agar terrealisasir. “Suka dan rela” ini kemudian diartikan dalam pengertian yang sempit (untuk tidak menyebut picik), bahwa hal identik dengan konsep ikhlas yang dipahami kaum awam.

Padahal secara tegas disebutkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Gerakan Pramuka bahwa Mabigus adalah institusi yang harus berfungsi memberikan bimbingan, bantuan dan dorongan, secara teknis, moral dan finansial terhadap keberadaan Gerakan Pramuka. Supaya kehidupan kepramukaan, atau dalam tataran yang lebih mikronya, kepembinaan anak didik berjalan sesuai harapan.

Tahun 1970-an, kita optimis, aktivitas kepramukaan menduduki peringkat popularitas sekaligus kegiatan favorit bagi kaum muda waktu itu. Belakang ini, sampel dalam lingkup kecil saja, seperti hasil penelitian yang diulas di atas pada sebuah Gudep SLTP, ternyata motivasi para remaja dan pemuda, hasilnya ternyata kurang menggembirakan. Ini adalah data yang menyatakan betapa krisis pembinaan kepramukaan mencapai tingkat grafik yang mengkhawatirkan. Walaupun informasi yang tidak enak kedengarannya itu tidak bisa dipakai untuk menarik generalisasi secara keseluruhan pembinaan di Nusantara ini, akan tetapi gambaran ini begitu jelas menyatakan bagaimana dinamika pembinaan yang terjadi di lapangan melorot tajam.

Itulah realitas krisis eksistensi Gerakan Pramuka terutama pada sisi kompetensi sekarang dan masa depan. Gerakan Pramuka menjadi dangkal daya tawar, sekaligus lemah dalam debut kancah perebutan pembinaan kaum muda-remaja. Kali ini peringkat Gerakan Pramuka bergeser; tidak lagi menempati posisi sebagai organisasi pembinaan yang solid bagi kaum muda bangsa yang hobi mengikuti kegiatan kepanduan.

Maka untuk mengukuhkan kembali sebuah realitas pembinaan idaman, kita harus mengawali pembentukan konsep baru tentang pembinaan yang akan bersaing di masa depan (sekarang dan untuk berikutnya). Perlu rekonstruksi rumusan konsepsi yang benar-benar menguntungkan baik secara perkembangan maupuan eksistensinya. Ini ada kesamaan dengan gerak peradaban dunia yang digulirkan oleh Fritjof Capra, penulis buku The Turning Point, dalam gerakan pembaharuan paradigma peradaban untuk membangun semangat kebangkitan dari krisis peradaban dewasa ini yang perlu kaji ulang. Menurut Capra, era perkembangan peradaban manusia terakhir ini sedang mengalami krisis. Lanjutnya, krisis ini terjadi adalah karena kesalahan pemilihan dan penafsiran terhadap teori-teori ilmiah yang diciptakan sebelumnya. Seharusnya bila umat manusia ingin terhindar dari krisis itu, sudah ada pemilihan dan penafsiran terbaru yang lebih akurat. Tapi kenyataannya, masih sering terjadi kekaburan fokus penafsiran.

Pembentukan –merumuskan maupun penafsiran baru– konsepsi kepramukaan itu menjadi semacam pencerahan bagi “kegelapan” yang menyelimuti kepramukaan saat ini. Pada gilirannya, nanti, akan menjadikan — mudah-mudahan— sebuah kenyataan awak kepramukaan manapun bersaing dan berusaha selalu meningkatkan kemampuan agar senantiasa dibutuhkan adanya oleh publik kita.

Pada satu dekade terakhir ini sempat santer isu back to basic dilontarkan oleh pelbagai institusi kemasyarakatan maupun pemerintahan, termasuk di tubuh Gerakan Pramuka. Intinya, ada kesalahan terstruktur menghinggapi dunia kepramukaan. Karenanya, perlu mengkaji kembali konsepsi yang sedang dipakai kali ini dan kembali pada semangat dasar konsep kepanduan.

Untuk itu, dengan tidak bermaksud latah dan hanya sekedar memutar lagu lama, sekali lagi, kita perlu mengadakan kaji ulang atau merumuskan ulang tentang hal-hal mendasar tentang kepramukaan. Alias meneruskan niat back to basic yang semakin mantap.

Percis konteksnya, manakala kita akan memperbaiki keadaan negara kita yang sudah  terpuruk dan sangat-sangat jlimet ini. Menurut beberapa pendapat para cendekiawan Indonesia, umpama, Cak Nur atau Nurcholish Madjid, Ahmad Tafsir dan Afif Muhammad, ketiganya doktor pengamat sosial keagamaan Indonesia, untuk merekonstruksi aspek kehidupan manusia Indonesia sekarang ini, setidaknya harus mengawali dari hal-hal mendasar kehidupan manusia. Seperti bagaimana beragama, bagaimana bermasyarakat, bagaimana ber-ekonomi, dan sebagainya.

Mengingat hal-hal itu, aspek mendesak yang mesti kita tata untuk mewujudkan sebuah tatanan Gerakan Pramuka masa depan, paling tidak mengawali dari hal-hal berikut. Pertama, bagaimana kita mengenali terlebih dahulu bagaimana sesungguhnya eksistensi Gerakan Pramuka sampai saat ini. Kedua, rumusan konsepsi yang paling memungkinkan untuk memformulasikan Gerakan Pramuka pada era persaingan yang lebih ketat di masa depan. Tentu akomodasi kebutuhan-kebutuhan prospektif lebih diutamakan tinimbang pengulangan tradisi lama yang sudah tidak relevan saat ini. Ketiga, adakan cross program dengan pelbagai lembaga kajian sosial sebagai langkah sosialisasi maupun konsolidasi sosok Gerakan Pramuka wajah baru. Keempat, mengukuhkan kerangka mendasar sebuah bangunan paradigma baru. Singkatnya, mempersiapkan bagaimana perangkat hakikat bangunan Gerakan Pramuka baru dimaksudkan —istilah untuk menyederhanakan perangkat–perangkat prosedur ilmiah. Kelima, merumuskan pula beberapa ketentuan atau aturan untuk menjembatani masa peralihan dari Gerakan Pramuka muka lama ke Gerakan Pramuka wajah baru.@@

Terus terang saja, tulisan ini sudah lama dibuat. Tetapi untuk mendorong dan menyemangati Gerakan Pramuka, yang bulan ini berulang tahun, saya ingin memberikan kado istimewa, walau sekedar sumbang saran. Selamat membaca. Naha, tidak dengan kueh ultahnya? Cari aja masing-masing ya. 🙂