Buku Sederhana Namun Penting

Buku selain menjadi saksi ide itu dituangkan, juga menjadi bukti eksistensi. Tidak hanya eksistensi penulis, penerbit, materi bahasan juga tanda budaya masyarakat sekitarnya.

Untuk mengapresiasi aneka penerbitan lokal Sukabumi yang berupaya menerbitkan buku-buku yang isinya banyak diabaikan oleh kita pada umunya, kami hadirkan beberapa buku berikut ini.

Teknis Pelaksanaan Musabaqah Syarh Al-Quran (pmsq2)

Musabaqah Syarh al-Qur’an (MSQ) menjadi cabang yang seolah wajib dilaksanakan pada setiap MTQ. Bahkan pada STQ (seleksi tilawatil quran), yang hanya cabang tertentu saja.

pengetahuan dan wawasan MSQ, banyak yang belum mengetahui secara rinci. Penjelasan berikut nampaknya memberi bekal. Walau mungkin alakadarnya.

Pengertian

Musabaqah syarh al-Qur’an adalah jenis lomba penyampaian pesan isi dan kandungan al-Qur’an dengan cara  menampilkan bacaan, puitisasi terjemah dan uraian yang merupakan kesatuan yang serasi

Golongan Musabaqah

Musabaqoh ini hanya terdiri dari satu golongan, dan masih memungkinkan dikembangkan menjadi golongan grouf putra dan putri, remaja dan anak-anak.

Peserta Musabaqah

Peserta adalah regu yang terdiri dari 3 orang yaitu seorang pembaca al-Qur’an, seorang pembawa puitisasi terjemah dan seseorang pengurai isi (pensyarah) baik putra maupun putri atau campuran dan berumur 13 tahun, 11 bulan 29 hari (usia remaja).  Bila tidak memungkinkan 3 orang, maka diizinkan 2 orang dengan tetap menampilkan 3 aspek tersebut.

Sistem Musabaqah

Sistem musabaqah adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan umum

  1. Materi Musabaqah (Maqra)
  1. Materi musabaqah adalah ayat-ayat al-Quran dengan judul bahasan yang diampilkan dalam tiga bentuk, yaitu:
  • Pembacaan ayat-ayat al-Quran dengan Qiraat Imam Ashim Hafsh secara hafalan dengan martabat Mujawwad.
  • Terjemah ayat-ayat tersebut secara puitis bisa dengan teks.

Urian isi kandugan ayat-ayat tersebut secara bebas dan boleh dengan membawa catatan.

Penjelasan ini sangat tepat, karena dihadirkan oleh orang yang pernah terlibat langsung dalam kompetisi tersebut. Nah, silahkan didownload link berikut ini.

https://drive.google.com/file/d/1Lswr1dCgeyHBbIiwbS3xZ6zR_8EN0Pgz/view?usp=sharing

Dari Syarh Quran Menuju Sosok Muslim Soleh (pmsq1)

Pada draft awal, buku ini berjudul Syarhil Quran: Panduan dan Contoh Praktis, karya Eman Sulaeman, LPTQ, 2006. Lantas

berubah menjadi Syarhil Quran Tentang Kesalehan Sosial: Panduan dan Contoh Praktis, yang dihadirkan oleh LPTQ Provinsi Jawa Barat Tahun 2007.

Menurut Tim Penyusun, Buku ini berkaitan dengan hal-ihwal yang berkaitan dengan subtansi dan mekanisme Syarhil Quran sebagai bagian dari cabang yang dimusabaqohkan pada event MTQ diseluruh tingkatan.

Upaya internaslisasi dan sosialisasi kesolehan sosial antara lain melalui Musabaqah Syarhil Quran (MSQ), sebagai bagian dari ibadah dan harus dimulai dengan basmallah dengan segudang makna pesan moral dan etika yang terkandung di dalamnya.

Gubernur Jawa Barat, memberikan pengantar juga bahwa agenda kelima dari kebijakan pemerintah propinsi Jawa Barat dalam melakukan akselerasi peningkatan kesejahteraan masyarakat guna mendukung pencapaian visi Jawa Barat, yaitu “Dengan Iman dan Taqwa Jawa Barat sebagai Propinsi Termaju di Indonesia dan Mitra Terdepan Ibu Kota Negara tahun 2010”, adalah peningkatan kualitas kehidupan sosial berdasarkan agama dan budaya daerah.

Guna mewujudkan agenda tersebut, diimplementasikan melalui gerakan kesalehan sosial yang bertujuan antara lain: Menempatkan kesalehan sosial sebagai landasan utama dalam pembangunan Sumber Daya Manusia; Pembangunan Ekonomi; Peningkatan Penyelengaraan Pelayanan Pemerintah; dan Pengolahan Lingkungan.

Khususnya, dalam akselerasi peningkatan kesejahteraan masyarakat, guna mendukung pencapaian visi Jawa Barat tahun 2010, sebab kesalehan sosial adalah sikap dan prilaku yang merefleksikan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Dalam bentuk kebijakan dalam kehidupan bermasyarakat sebagi perwujudan dari interaksi antara individu anggota masyarakat dalam menegakan hak dan kewajiban di antara sesamanya.

Buku ini, dipandang memiliki banyak fungsi, antara lain: merupakan salah satu upaya nyata proses internalisasi dan sosialisasi butir-butir kesalehan sosial melalui kegiatan Syarhil Quran yang menjadi salah satu cabang MTQ dan sekaligus dapat dijadikan bahan pelatihan kader pelaku Syarhil Quran di semua tingkatan LPTQ di wilayah provinsi Jawa Barat.

Mengingat Syarhil Quran ditampilkan dalam bahasa lisan secara tatap muka langsung dengan khalayak, maka proses internalisasi dan sosialisasi kesalehan sosial melalui kegiatan ini dinilai sangat strategi dalam upaya akselerasi realisasi visi dan misi pembangunan pemerintah provinsi Jawa Barat.

***

Sementara itu dalam pendahuluan, atau Khithabah istilah buku ini, bahwa MSQ adalah bagian dari upaya dakwah. Dengan penjelasan lebih lengkap antara lain.

Dakwah merupakan bahasa Arab, berasal dari kata da’wah, yang bersumber pada kata: دعا- يدعو- دعوة )da’a, yad’u, da’watan,( yang bermakna seruan, panggilan, atau undangan. Seruan yang dimaksud, menurut Q.S. Ali-Imran [3]: 104 adalah seruan kepada segenap umat manusia menuju al-Khayr.

Al-Khayr, menurut para mufassir adalah al-Islam dalam arti yang seluas-luasnya yaitu agama semua nabi sepanjang zaman. Dengan demikian dakwah adalah proses Islamisasi (islamization process)[1]

Dalam kapasitas sebagai “da’i”, Allah SWT mengajak umat manusia menuju al-Islam, sebagaimana diungkapkan dalam Q.S. Yunus [10]: 25).

Allah menyeru (manusia) ke Dar al-Isalam, dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam).

Al-Islam yang dimaksud adalah al-Islam yang kaffah sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 208. Sedangkan  al-Islam yang kaffah adalah tercapainya isi, substansi, dan essensi al-Islam itu sendiri, yaitu al-Islam yang secara theologis berupa ajaran untuk berserah diri hanya kepada Allah SWT., dengan mengikuti segala sistem ajaran-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Islam yang secara sosiologis, berupa sistem ajaran yang mampu memberikan kedamaian (salam) dan kesejukan (silam) serta kesejahteraan atau kesentosaan (salamah) bahkan tercapainya kualitas hidup yang lebih baik bagi umat manusia di dunia dan di akhirat (sullam).

Pemahaman bahwa dakwah sebagai seruan kepada al-Islam itu, menurut Ibn Taimiyah adalah ajakan kepada agama Allah SWT., yaitu ajakan untuk beriman kepada-Nya dan kepada ajaran yang dibawa para utusan-Nya, membenarkan berita yang mereka sampaikan, serta mentaati perintah mereka. Hal itu mencakup ajakan untuk mengucapkan dua kalimah syahadat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan melaksanakan ibadah haji. Juga mencakup ajakan untuk beriman kepada Allah, malaikat-Nya, para utusan-Nya, hari kebangkitan, dan beriman kepada qadha dan qadar-Nya yang baik maupun yang buruk. Serta ajakan untuk beriman kepada-Nya seolah-olah melihat-Nya.[2]

Karena pada dasarnya, semua manusia (al-Insan) sudah berislam sejak di alam ruh, maka hakikat dakwah bisa pula diartikan sebagai upaya mengingatkan manusia (al-Insan) yang berpotensi lupa (nisyan). Dan materi pokok yang dilupakan manusia adalah perjanjian primordial (priomordial convenant atau ahd al-fithri fi alam al-Ruh) berupa  syahadah al-Ilahiyah atau pengakuan manusia akan eksistensi Allah SWT sebagai rabb-Nya (Q.S.al-‘Araf [7]:172).

Atas dasar perjanjian itu, maka manusia ketika lahir ke dunia dalam keadaan fithrah atau suci membawa tauhidullah yakni beriman dan berislam (Q.S.al-Rum [30]: 30). Akan tetapi manusia lupa atau melupakan perjanjian itu, maka dakwah berfungsi mengingatkan kembali terhadap perjanjian itu.

Oleh karena itu, dalam pandangan Syaikh ‘Ali Mahfudz, urgensi dakwah sebagai upaya membangkitkan kesadaran manusia di atas kebaikan dan bimbingan, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar supaya mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat.[3]

Sedangkan dari segi hukum, menurut al-Mawardi upaya menyeru umat manusia melaksanakan kebaikan (al-Ma’ruf) dan meningalkan perbuatan buruk (al-Munkar) merupakan urusan keagamaan (al-Qawaid al-Diniyah)[4].

Hukum wajib tersebut telah ditetapkan oleh al-Qur’an, al-Sunnah serta Ijma’ (ijm’a al-Umah).[5]  Bahkan dalam pandangan Ibn Taimiyah, melaksanakan dakwah (ta’muruna bi al-Ma’ruf wa tanhawna ‘an al-Munkar) merupakan kewajiban yang utama dan pertama serta sebaik-baiknya perbuatan[6].

Pada realiasasinya, dalam melaksanakan kewajiban dakwah, jika dilihat dari interaksi da’i dengan mad’u-nya, terbagi ke dalam lima tingkatan, yaitu (1) Da’wah nafsiyyah, yaitu dakwah seseorang kepada dirinya sendiri dalam bentuk wiqayah al-Nafs; (2) Da’wah fardiyah, yaitu dakwah seseorang kepada orang lain dalam jumlah mad’u (objek dakwah) seorang, dua orang atau tiga orang dalam bentuk irsyad, tadbir, tamkin, dan tathwir; (3) Da’wah Fi’ah Qalilah, yaitu dakwah seseorang kepada kelompok kecil dalam bentuk irsyad, tadbir, tamkin dan tathwir; (4) Da’wah fi’ah katsirah, yaitu dakwah seseorang kepada kelompok besar, dalam bentuk tabligh; (5) Dakwah Jama’ah atau hizbiyah yaitu dakwah seorang atau kelompok/jama’ah atau organisasi dalam bentuk irsyad, tadbir, tamkin, dan tathwir; (6) Da’wah ummah, yaitu dakwah seseorang kepada khalayak atau publik dalam bentuk tabligh; (7) Da’wah Syu’ubiyah wa Qabailiyah yaitu dakwah seorang kepada Mad’u jika da’i dan mad’u berbeda budaya dalam bentuk irsyad, tadbir, tamkin dan tathwir.[7]

Metode Dakwah

Dari segi bahasa, metode berasal dari dua perkataan, yaitu meta yang berarti melalui dan hodos yang berarti jalan atau cara[8].  Dalam bahasa Yunani metode berasal dari akar kata methodos yang berarti jalan. Sedangkan dalam bahasa Jerman metode berasal dari akar kata methodica yang berarati ajaran tentang metode. Sedangkan dalam bahasa Arab metode disebut thariq, atau thariqah yang berarti jalan atau cara. Kata-kata tersebut identik dengan kata al-Ushlub[9].

Inilah pentingnya wawasan MSQ dihadirkan kepada pembaca. Jelasnya dapat dibaca pada downloadan berikut ini.

https://drive.google.com/file/d/1TS0bo3XwLDG4RHntudXzHD5UeCabRtDi/view?usp=sharing

[1]Islamisasi berarti mempertahankan keislaman muslim dan mengupayakan orang luar Islam agar masuk Islam.  Fakultas dakwah  berarti  fakultas Islamisasi di dalamnya harus terdapat upaya-upaya strategis untuk melakukan Islamisasi.  Hal ini senada dengan konsep pendidikan barat (kristen) mereka memiliki Mision Faculty (fakultas Misionaris) dengan program melakukan kristenisasi

[2] Syaikh Ibn Taimiyah, Majmu’ah al-Fatawa, Juz XV, (Saudi: al-Thab’ah as-Sa’udiyah, 1398H).,hlm. 157-158.

[3] Syaikh Ali Mahfudz, Hidayat al-Mursidin, lihat juga Abdul Kadir Sayid Abd Rauf, Dirasat fi da’wah al-Islamiyyah, (Kairo: Dar al-Tiba’ah al-Mahmadiyah), 1987, hlm. 10

[4]Imam al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Mesir: Syirkah wa Matba’ah Musthafa al-Baby,Cet.ke-3, 1393), hlm. 258.

[5] Lihat. Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim 2/22

[6] Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar, (Beirut: Dar al-Kitab al-Jadid, Cet. I, 1396 H), hlm.26-27

[7] Lihat. H. Syukriadi Sambas, M.Si., Sembilan Pasal Filsafat Dakwah, (Bandung: KP Hadid, 1999, hlm. 7

[8] M.Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 61

[9]Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Ponpes Al-Munawir, 1984), hlm. 910

 

Menangkap Pelajaran dari Penelusuran Sejarah Pendidikan (abpi4)

MA – TULISAN ini diawali dari pernyataan Soekarno pada ulang tahun proklamasi ketiga, beliau menulis dengan tulisan tangannya sendiri, bunyi pernyataan itu sebagai berikut:

seorang penulis berkata: “mempelajari sejarah adalah omong kosong “, ‘History is bunk’. Penulis ini tidak benar. Sejarah adalah berguna sekali, dari mempelajari sejarah orang bisa menemukan hukum, hukum yang menguasai kehidupan manusia. Salah satu hukum itu ialah bhwa tidak ada bangsa bisa menjadi besar dan makmur zonder kerja. Terbukti dalam sejarah segala zaman, bahwa kebesaran bangsa dan kemakmuran tidak pernah jatuh gratis dari langit. Kebesaran bangsa dan kemakmuran selalu ‘kristalisasi’ keringat’ Ini adalah hukum yang kita temukan dari mempelajari sejarah. Bangsa Indonesia tariklah moral dari hukum ini (Soekarno pada hari ulang tahun proklamsi ke III), [Mansur Suryanegara’ Api Sejarah, Suryadinasti, Bandung, 2014].

Tulisan ini menginspirasi bahwa sejarah sejatinya mengandung kekuatan dan menimbulkan dinamisme dan melahirkan nilai-nilai baru bagi pertumbuhan serta perkembangan kehidupan manusia.

Demikian juga sejarah pendidikan di Indonesia memiliki banyak kegunaan, di antaranya sebagai faktor keteladanan, cermin, perbandingan, dan perbaikan keadaan ke depan.

Sebagai teladan sejarah memberikan gambaran keteladanan. Ini dapat dimaklumi hanya karena dengan informasi yang ditulis akan melahirkan keteladanan dari orang-orang atau pelaku sejarah sebelumnya. Perjalanan bangsa yang besar, orang yang sukses dapat digambarkan melalui pemaparan informasi sejarah yang selanjutnya dapat ditiru dan diteladani yang baik dan membanggakan, dan selanjutnya hal-hal buruk yang menyebabkan kehancuran dan keterpurukan dapat dihindari.

Sebagai cermin, sejarah melalui pendekatan ilmunya berusaha menafsirkan pengalaman masa lampau manusia dalam berbagai aktivitas. Akan tetapi sejalan dengan perkembangan bahwa tidak semua kegiatan manusia berjalan mulus, terkadang menemukan rintangan tertentu, menemukan sesuatu yang tidak diharapkan. Maka kita perlu bercermin dan mengambil pelajaran dari kejadian masa lampau, khususnya bagi perkembangan pendidikan di Indonesia.

Sebagai pembanding, suatu peristiwa yang berlangsung dari masa ke masa tentu memiliki kesamaan dan kekhususan. Dengan demikian melalui proses pembandingan antara masa silam, sekarang dan harapan masa datang akan memberi andil bagi perkembangan pendidikan Indonesia mendatang.

Sebagai perbaikan, setelah berusaha menginter-pretasi, membandingkan dan bercermin terhadap sejarah masa lampau kita dapat berusaha memperbaiki keadaan yang sebelumnya menjadi lebih berguna dan konstruktif.

Tulisan ini tidak akan menyajikan informasi detail setiap rentetan peristiwa keindonesiaan khususnya pendidikan. Namun tulisan ini sekedar memberi gambaran sederhana bahwa pendidikan di Indonesia telah berlangsung sejak lama, mengalami pasang surut, berbagai perbaikan dan perkembangan dalam setiap rangkaian peristiwanya.

Untuk menyederhanakan tulisan ini dipaparkan pendidikan dan kehidupan Bangsa Indonesia pada sebelum perjuangan kemerdekaan (sebelum masuk Islam), pendidikan periode penjajahan Belanda dan Jepang/perjuangan kemerdekaan, pendidikan setelah merdeka/ masa orde lama dan orde baru, dan pendidikan masa reformasi.

Oke selengkapnya pembaca dapat mengikuti di link berikut ini.

https://drive.google.com/file/d/1xZclLav12ncaSi0fauEv5ZV0c3MboHnC/view?usp=sharing

 

Prinsip Dasar Pendidikan Menuju Pola Baru (abpi3)

Barangkali benar bahwa pada hari ini tidak ada sesuatu yang paling menyibukan banyak kalangan masyarakat kita yaitu pemikiran tentang bagaimana mendorong terwujudnya Model Pendidikan Baru.

Tentunya perkataan “baru” sendiri syarat dengan makna, sehingga tidak dapat dihindari adanya banyak perbedaan pengertian dan pemahaman.

Oleh Karena itu, sudah sepatutnya kita semua secara bersama-sama merembuk persoalan itu dan saling mengisi kekurangan masing-masing dalam pemahamannya, sejalan dengan makna sebenarnya prinsip musyawarah (saling memberi isyarat, yakni isyarat tentang hal yang sekiranya benar dan baik untuk semua).

Sebenarnya ”baru” ataupun “lama” sebagai kualifikasi tentang apapun dapat sangat relatif. Misalnya, tidak selamanya kita harus memahami sesuatu sebagai “baru” dalam artian sama sekali lepas dari masa lampau, yakni dari keadaan “lama”-nya.

Sebab salah satu kenyataan tentang sesuatu yang dikategorikan kedinamisan, yang selalu bergerak dan berkembang, ialah kesinambungan. Lebih-lebih tentang agregat budaya, politik dan kemasyarakatan seperti pendidikan, kategori kedinamisan itu mengharuskan kita melihatnya dalam rangkaian keutuhan kontinuitas yang panjang.

Dalam hal budaya, politik, dan kemasyarakatan, pendekatan itu berarti mengharuskan kita melihat suatu persoalan tidak berdiri sendiri secara terpisah dari masa lalu dan masa depan, seolah-olah merupakan kenyataan dalam batasan waktu sesaat dan tempat tertentu semata.

Kita harus melihat pendidikan dalam kaitannya dengan masa-masa sebelumnya, dengan dugaan tentang pengaruhnya di masa depan, semua itu dalam makna positif maupun negatifnya. Maka dengan demikian, juga tentang ide “Model Pendidikan Baru”, kita akan memperoleh pemahaman lebih tepat dengan melihat linkage-nya dengan masa lampau dan membuat perkiraan tentang implikasinya bagi masa depan.

Pertama-tama frasa pendidikan sendiri adalah suatu istilah, (Arab: Isthilâh, yaitu “ungkapan kesepakatan”), suatu ungkapan hasil kesepakatan masyarakat, sebagian atau seluruhnya dengan makna-makna tertentu.

Karena kesepakatan itu tidak pernah dilakukan secara nyata dan formal, maka suatu ungkapan istilah tetap mengandung kemungkinan perbedaan pengertian atau pemahaman dan kontroversi. Jika suatu istilah benar-benar memasya-rakat, maka kemantapan pengertiannya terjadi oleh adanya proses penerimaan dan kesepakatan pasif secara umum.

Untuk memahami pendidikan, dapat dilihat melalui 2 (dua) sisi; yaitu pertama secara konseptual dan kedua secara faktual. Secara konseptual pendidikan yang hendak diwujudkan di negara Indonesia adalah pembentukkan manusia yang bertindak sebagai manusia pancasilais dalam Islam dikenal istilah khalifah yang ciri-cirinya terkandung dalam konsep ibadah dan amanah.

Manusia sebagai khalifah ini mempunyai ciri-ciri yang membedakannya dari makhluk yang lain, yakni mempunyai fithrah yang baik, mempunyai roh, disamping jasmani, mempunyai kebebasan kemauan, dan mempunyai akal yang menjadi inti manusia itu. Oleh karena itu, humanisasi satu-satunya pilihan bagi kemanusiaan. Secara dialektis, jika kenyataan menyimpang dari keharusan, maka menjadi tugas manusia untuk merubahnya sesuai dengan apa yang seharusnya.

Oke supaya anda tuntas, bacalah pada link berikut ini. Sebelumnya download dulu, hehe.

https://drive.google.com/file/d/1ZNlPEkuT0yFMXYss4g4v0iJ7iwFwYOjU/view?usp=sharing

Panduan Penyelenggaraan Administrasi Majelis Ta’lim (pmt3)

Sistem Administrasi Majelis Ta’lim

Administrasi yang dimaksud adalah usaha untuk mendayagunakan seluruh potensi Majelis Ta’lim secara efektif dan efesien untuk menunjang tercapainya tujuan.

Administrasi di Majelis Ta’lim sebagaimana di organi-sasi atau lembaga lain, pada umumnya meliputi:

  1. Perencanaan; dalam pengertian ini sebuah kegiatan Majelis Ta’lim harus dirancang terlebih-benar akan mencapai tujuan. Setelah itu pertimbangkn juga faktor lain, misalnya biaya dan waktu.
  2. Pengorganisasian; mengatur semua tenaga atau fasilitas yang dimiliki termasuk pembagian tugas pengurus, pengaturan tempat, pelajaran, guru, dan biaya;
  3. Pengarahan; semua potensi dapat diarahkan dengan baik agar dapat menyokong tercapainya tujuan;
  4. Pengkoordinasian; kegiatan di Majelis Ta’lim harus terkoordinir dengan baik;
  5. Pengawasan; mengawasi semua kegiatan dan semua penggunaan dana, fasilitas untuk mencapai tujuan.

 

Prinsip Administrasi Majelis Ta’lim

  1. Administrasi harus praktis (tidak ruwet) dan dapat dikerjakan dengan mudah (workable). Kepraktisan dan kemudahan itu harus ditinjau dari kondisi dan situasi riil Majelis Ta’lim;
  2. Administrasi harus dapat berfungsi sebagai sumber informasi dari seluruh kegiatan Majelis Ta’lim;
  3. Administrasi harus dilaksanakan menurut suatu sistem yang telah ditetapkan terlebih dahulu.

 

Kompetensi (kemampuan) administrasi.

Ada baiknya administrator (pemegang administrasi) Majelis Ta’lim memiliki pengetahuan, ketrampilan dan sikap sebagai berikut:

  1. Memiliki pengetahuan tentang administrasi pada umumnya, antara lain meliputi pengajaran pada Majelis Ta’lim, pengaturan jama’ah dan guru, pengaturan peralatan, gedung, keuangan dan fasilitas lain serta pengaturan hubungan Majelis Ta’lim dengan pihak luar.
  2. Memiliki ketrampilan dalam perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, dan pengawasan kegiatanMajelis Ta;lim.
  3. Memiliki sikap untuk selalu berusaha:
  1. Memahami kurikulum dan petunjuk Majelis Ta’lim.
  2. Memahami peraturan-peraturan yang berlaku, baik tertulis maupun tak tertulis (tradisi).
  3. menghargai cara berpikir rasional, demokratis, dan dinamis. Kreatif serta terbuka terhadap pembaharuan.
  4. Saling percaya sebagai dasar hubungan manusiawi dalam pelaksanaan tugas.

 

Komponen Administrasi

Unsur administrasi Majelis Ta’lim terdiri dari:

  1. Pengaturan jadwal ta’lim atau pengajaran
  2. Pengaturan jama’ah
  3. Pengaturan ustadz/ustadzah
  4. Pengaturan peralatan atau sarana
  5. Pengaturan tempat
  6. Pengaturan keuangan
  7. Pengaturan ketatausahaan

Masih banyak hal lain tentang praktek pengelolaan administrasi di MT, mari kita lihat pada link ini.

https://drive.google.com/file/d/1F8EwBDdUbPnbbb91U64UsOKY4P81zkSn/view?usp=sharing

Pedoman Pelaksanaan Taklim Lembaga Pendidikan Publik (pmt2)

Sebuah Majelis Ta’lim (MT), idealnya memang dilengkapi dengan perangkat software dan hardware sebagaimana lembaga pendidikan formal umumnya. Namun, karena karakternya muncul berbagai kesulitan.

Walau serba kesulitan, usaha harus terus dipupuk dengan baik. Setidaknya pembelajaran di MT dikelola dengan pengaturan yang minimal pada komponen Kurikulum, Metode dalam komunikasi pembelajaran, dan Evaluasi/Penilaian.

Kurikulum ialah sejumlah rencana materi ajar yang dibuat dan akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam hal ini, bila Majelis Ta’lim telah disepakati sebagai lembaga pendidikan keagamaan non formal, maka sudah sebaiknya majelis memiliki kurikulum sendiri sesuai tujuan pendirian. Dalam Materi ajar tersebut terdapat dua hal yang perlu diperhatikan:

  1. Kurikulum tidak lain dari rencana untuk mencapai tujuan.
  2. Rencana itu dilaksanakan dengan cara dan prosedur tertentu.

Agar lebih mempertegas kurikulum ini dapat dilakukan pengurutan seperti berikut:

  1. Rumusan tujuan pembelajaran

Tujuan pembelajaran dimaksudkan untuk memberi-kan arah serta bimbingan agar seorang dapat mencapai tujuannya. Tujuan pembelajaran adalah deskripsi tentang perubahan penampilan perilaku siswa yang diharapkan, setelah mereka mempelajari bahan yang diajarkan. Dengan demikian tujuan pembelajaran adalah gambaran perilaku siswa yang meliputi aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik setelah mengikuti kegiatan pembelajaran.

Tujuan pembelajaran di Majelis Ta’lim dapat dilihat dalam kurikulum Majelis Ta’lim atau membuat sendiri. Untuk membuat rumusan tujuan pembelajaran pada Majelis Ta’lim, baiknya dipahami dua jenis tujuan. Apasaja? Ikuti link berikut,

https://drive.google.com/file/d/1zuCKpLvqcexUZ9xPYjDMMgiERWMS_cp3/view?usp=sharing

Tarekah Lembaga Pembelajaran Publik Untuk Menggapai Keberkahan Ummah (pmt1)

Sebuah buku tentang PANDUAN UMUM MAJELIS TA’LIM, ditulis Oleh: Henda, M.Ag, yang diperhalus oleh Editor: Mansur Asy’arie, diselaraskan dalam versi Seri e-book oleh regana poin (editorial, design, computerize, publishing), Jl. Raya Surade Rt. 06/02 Surade Kab. Sukabumi 43179

Diterbitkan rencana awal oleh penerbit yayasan AMMA, salah satu penerbit lokal-global, yang beralamat di Jl. Kalangbentang Bedeng Rt. 02/01 Pasiripis Surade Kab. Sukabumi Jawa Barat 43179.

Buku ini mengawali pembahasan tentang Majelis Ta’lim (MT) pada PENDAHULUAN yang menghantarkan pembaca untuk memahami tentang seputar majelis taklim dan peranannya serta urgensi pengelolaan MT.

BAB I PEMAHAMAN UMUM MAJELIS TA’LIM. membahas tentang Sejarah Singkat, Tujuan, Kedudukan dan Fungsi,    Persyaratan, Jenis Majelis Ta’lim, Sarana dan Prasarana, dll.

BAB II PEDOMAN PELAKSANAAN PENGAJARAN/TA’LIM, dilengkapi dengan pembahasan Kurikulum, Metode dalam komunikasi pembelajaran,    dan Evaluasi/Penilaian.

BAB III PANDUAN PENYELENGGARAAN  ADMINISTRASI MAJELIS TA’LIM, meliputi bahasan tentang Sistem Administrasi Majelis Ta’lim, Pengaturan Ta’lim atau Pembelajaran, dan pengaturan komponen lainnya.

Dalam PRAKATA PENULIS, diterangkan bahwa buku panduan ini versi e-book, yang awalnya adalah persiapan buku (draft) panduan yang diajukan kepada Kementerian Agama Kantor Kabupaten Sukabumi, namun karena satu dan lain hal, tanggapannya belum dapat diterima hingga kini.

Secara lebih detil, pada pendahuluan dijelaskan bahwa, salah satu dimensi pokok proses pendidikan adalah lingkungan sosial, tempat individu mengembangkan potensi diri. Hal ini mendorong praktisi pendidikan untuk menganalisis lingkungan sebagai suatu keseluruhan.

Keberadaan Majelis Ta’lim dan masyarakat merupa-kan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan. Karena keduanya saling mempengaruhi. Sebagian besar Majelis Ta’lim berkembang dari adanya dukungan masyarakat, dan secara sederhana muncul atau berdirinya Majelis Ta’lim merupakan inisiatif masyarakat, baik secara individual maupun kolektif. Begitu pula sebaliknya, perubahan sosial dalam masyarakat merupakan dinamika sebagian kegiatan Majelis Ta’lim dalam pendidikan dan pembelajarannya.

Majelis Ta’lim adalah salah satu lembaga pendidikan Islam pada jalur pendidikan non formal. Lembaga ini acapkali dipandang sebelah mata, sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam. Asumsi tersebut dapat kita lihat dari image masyarakat pada umumnya yang cenderung tidak mengetahui dan tidak memahami secara utuh, tentang posisi Majelis Ta’lim sebagai lembaga pendidikan. Sisi lain dari itu, perhatian pemerintah pada jalur ini terkesan kurang memberi daya dukung optimal, ini terlihat dari kebijakan pemerintah yang kurang memiliki keberpihakan terhadap Majelis Ta’lim.

Dampaknya Majelis Ta’lim sebagai sebuah lembaga pendidikan pada jalur non formal tersebut, seperti yang terjadi saat ini, belum ditata secara optimal layaknya sebagai sebuah sistem pendidikan. Walau bagaimanapun akan terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara membiarkan pendidikan Majelis Ta’lim bergerak apa ada-nya, dengan melakukan penataan kembali akan esensinya dalam core sebuah sistem.

Salah satu unsur terpenting dalam pembangunan nasional kita adalah unsur manusianya. Bahkan hal ini telah diikrarkan melalui statement pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Manusia dengan seluruh totalitasnya harus senantiasa melaksanakan perintah agamanya.

Dalam upaya seperti ini Majelis Ta’lim sangat penting kehadirannya sebagai lembaga pendidikan orang dewasa, khusus di bidang pengetahuan agama Islam agar dapat mentransformasikan nilai-nilai agama kepada individu muslim dimanapun. Kehadiran Majelis Ta’lim pun diharapkan dapat membina hubungan silaturrahmi, semangat kesatuan dan persatuan bangsa dan menjauhkan manusia dari perbuatan tercela.

Selama ini Majelis Ta’lim tumbuh alami, tanpa suatu komando atau pengarahan terencana (kecuali Majelis Ta’lim aparatur yang sudah digagas Pemda Kab. Sukabumi sekitar tahun 2000-an). Masyarakatlah, karena kecintaan akan agama, mereka mengusahakan tempat maupun guru dengan segala fasilitasnya. Karena itu tidak aneh apabila sampai sekarang tidak ada pembakuan, standarisasi, dan penataan menyeluruh terhadap Majelis Ta’lim. Bahkan yang lebih ironi banyak orang yang mulai mempertanyakan efesiensi dan efektivitas Majelis Ta’lim sebagai lembaga pendidikan.

Untuk lengkapnya bagian ini dapat didownload pada link berikut,

https://drive.google.com/file/d/1vXclPhw5Nhe4Z8rc4yUVLDbzucMkaj-R/view?usp=sharing

Mencari Arah Kompas Gaya Pendidikan Indonesia (abpi1)

MA – MENCARI rumusan teori pendidikan yang dapat membumi di Indonesia sangat penting dilakukan, sekurang-kurangnya disebabkan karena dua hal. Pertama, saat ini diduga terdapat kesalahan landasan filosofis yang diterapkan dalam dunia pendidikan pada umumnya. Sebagai akibat kesalahan tersebut maka outcome lembaga pendidikan saat ini cenderung memiliki orientasi hidup yang lebih bercorak materialistik, hedonis, sekularis, dan individualis, yang gejala-gejalanya antara lain kurangnya penghargaan terhadap nilai-nilai agama, pola hidup yang membolehkan apapun seperti pergaulan bebas. Bagi bangsa Indonesia pandangan filosofis yang melandasi dunia pendidikan demikian harus segera diganti dengan pandangan hidup yang islami yang disesuaikan dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia.

Kedua, sejalan dengan pemikiran yang pertama, saat ini dianggap waktunya agar falsafah pancasila sebagai sebagai ideologi negara universal dan mengandung berbagai keunggulan komparatif untuk diterapkan dalam kerangka mencari solusi terhadap berbagai masalah nasional terutama masalah pendidikan. Terjadinya keterbelakangan dalam berbagai bidang kehidupan baik ekonomi, iptek, peradaban, kesehatan, disiplin, dan sebagainya, penyebab utamanya berakumulasi karena diakibatkan keterbelakangan bidang pendidikan. Atas dasar inilah maka sejak awal kehadirannya di muka bumi di Indonesia, pancasila menempatkan agama dalam sila-silanya yang diharapkan dapat menjadi landasan pendidikan ala Indonesia dan selanjutnya pendidikan tersebut dijadikan sebagai agenda utama dalam upaya memperbaiki keadaan masyarakat yang kacau dan porak poranda.

Pendidikan Indonesia mempunyai sejarah yang panjang, dalam pengertian yang seluas-luasnya, pendidikan berbasis falsafah pancasila berkembang seiring dengan penetapan pancasila oleh BPUPKI. Perjalanan pendidikan di Indonesia sebenarnya telah berlangsung sejak bangsa ini ada, ada saat-saat kebangkitan, kemajuan, stagnasi, dan kemundurannya. Saat ini diduga pendidikan di Indonesia dalam kondisi kemunduran. Dengan demikian, di sinilah perlunya kearifan pendidikan ala Indonesia dalam rangka memformulasikan jalan vital kemajuan pendidikan untuk Indonesia jaya.

Apabila dicermati perkembangan pendidikan dalam konstelasi sejarah, maka jalur pendidikan non formal yang difahami pada tataran kekinian, merupakan peletak dasar bagi perjalanan panjang sejarah pendidikan di Indonesia. Sejalan dengan proses perjuangan di Indonesia, pendidikan sudah mulai tumbuh meskipun masih bersifat individual. Para pejuang negara mendekati masyarakat dengan cara persuasif dan memberikan pengertian tentang dasar-dasar pendidikan agama terutama untuk melepaskan diri dari penjajahan.

Eksistensi dan perkembangan lembaga pendidikan Indonesia erat kaitannya dengan persentuhan Islam. Lembaga pendidikan di Indonesia berasal dari proses interaksi misi Islam dalam tiga kondisi. Pertama, interaksi Islam dengan budaya lokal yang melahirkan pesantren. Kedua, interaksi misi Islam dengan Timur Tengah modern, menghasilkan lembaga madrasah. Ketiga, interaksi Islam dengan politik pendidikan Hindia Belanda membuahkan sekolah, misi Islam dimasukan ke sekolah dalam porsi pelajaran agama.

Ketika bermaksud melaksanakan pendidikan untuk rakyat Indonesia, pemerintah Belanda lebih memilih lembaga sekolah daripada lembaga pendidikan Islam. Pada masa awal kemerdekaan, Indonesia mengembangkan sekolah sebagai mainstraim sistem pendidikan nasional. Dengan demikian, pergumulan antara sistem pendidikan ‘nasional’ dengan sistem pendidikan ’Islam’ terus berlangsung. Sebagai bagian dari proses pencarian rumusan sistem pendidikan nasional yang utuh, pergumulan itu secara bertahap menghasilkan penyesuaian yang cukup signifikan.

Melalui proses yang panjang dan seringkali melibatkan ketegangan politik antara eksponen yang berbeda pandangan, kecenderungan untuk mensin-tesakan dua kutub pendidikan Nasional dan pendidikan Islam semakin terbukti. Perkembangan ini tercermin dalam UU No. 2 tahun 1989 dan puncaknya melahirkan UU No. 20 tahun 2003. Salah satu titik penyesuaian itu terletak pada cakupan sistem pendidikan yang komprehensif, tidak terbatas pada jalur sekolah. Apa yang disebut dengan sistem pendidikan nasional adalah satu kesatuan dari jalur dan satuan pendidikan yang beraneka ragam dengan dasar dan tujuan pendidikan yang bersifat nasional.

Tulisan ini mencoba membahas konsepsi pendidikan dalam perspektif negara kesatuan, membingkainya secara serba terbatas, dengan harapan para praktisi pendidikan yang memiliki jiwa nasional memahami secara utuh konsepsi pendidikan dalam kerangka ‘memanusiakan’ manusia. Namun, meng-hindari dikhotomi ilmu dalam pendidikan senantiasa sebuah keniscayaan, hal ini penting mengingat gejala ini sudah terlanjur menjadi pola fikir kebanyakan penduduk di Indonesia. Selainnya semoga dapat diupayakan alternatifnya bagaimana mengelola sebuah lembaga pendidikan yang berwawasan keindonesiaan.

***

Nah, untuk jelasnya coba diambil dari link berikut ini.

https://drive.google.com/file/d/1UgL1lneJwDPXeGoHsW_4XkwmJFHOdsp5/view?usp=sharing

Memilih Sistem Pendidikan di Indonesia

Arah pendidikan Indonesia akan dibawa kemana? Inilah salah satu yang sering dipertanyakan dalam berbagai diskursus tentang pendidikan di Indonesia. Sebab, hal ini akan berdampak pada praktek pengelolaan penyelenggaraan, hingga teknis di lapangan.

kemana arah pendidikan indoUpaya untuk menjawab itu, salah satunya disodorkan oleh penulis pajampangan, Henda Pribadi. Ia menulis buku Arah Baru Pendidikan Indonesia; Stimulus untuk Pendidikan Bercorak ke-Indonesia-an, yang diterbitkan oleh Penerbit Yayasan AMMA Surade, 2015.

Untuk menguatkan perihal upayanya itu, penulis merekomendasikan pengantar yang dibuatkan oleh DR. Reni Marlinawati, salah satu srikandi legislator Sukabumi Komisi X, bidang garapan Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata, Kesenian dan Kebudayaan.

Inilah pengantar yang Reni tuliskan dengan penyesuaian oleh admin.

***

PILIHAN SISTEM PENDIDIKAN

Perdebatan mengenai sistem pendidikan di Indonesia sudah terjadi jauh sebelum Indonesia Merdeka (tahun 1935), khususnya mengenai sistem pendidikan Barat dengan sistem pendidikan Pesantren.[1] Perdebatan sistem pendidikan ini meski tidak spesifik tentang pesantren, namun sistem pendidikan pesantren dalam ‘Polemik Kebudayaan’ menjadi salah satu topik perdebatan.[2]

Dalam perdebatan tersebut pesantren bagi Sutan Takdir Alisyahbana (STA) merupakan lembaga pendidikan kolot anti kemajuan. Pro Pesantren kata Sutan Takdir sebagai anti ‘intelektualisme, individual-isme, egoism dan materialisme’. Dalam konteks ini Sutan Takdir menginginkan berlakunya sistem pendidikan Barat modern yang bertujuan untuk mengasah intelek setajam-tajamnya, menghidupkan individulita sehidup-hidupnya, membangunkan keinsafan akan kepentingan diri dan mendidik bangsa untuk mengumpulkan dan memakai harta dunia.[3]

Menghadapi tuduhan STA, dr. Sotomo memberi penjelasan mengenai apresiasinya terhadap pesantren. Pada zaman nenek moyang saya, yaitu pada kira-kira abad ke-19, pesantrenlah tempat perguruan yang asli. Karena belum terdesak oleh sekolahan gubernemen, pesantren itu ribuan bilangannya. Pengaruh perguruan itu terhadap masyarakat kita, civilization rakyat, tidak bisa diabaikan … pesantren dan pondoknya mempersatukan anak-anak muda kita dari segala lapisan masyarakat. Anak orang tani, anak saudagar, anak bangsawan, berkumpul dalam pondok itu, keadaan lahir dan batinnya diberi pimpinan yang sama oleh guru, sehingga pemuda-pemuda itu, yang dibelakang hari megang pekerjaan yang beraneka-ragam itu di dalam masyarakat, toh merasa satu perikatan lahir dan batin yang telah diletakan, ditanam di dalam pondok dan pesantren itu, dari lapisan manapun, tidak terpecah belah, terpisah satu sama lain seperti sekarang.[4]

Selain itu ada beberapa hal yang membuat dr. Sotomo tertarik pada pesantren. Pertama, tertarik pada sistem pondoknya, karena dengan sistem itu pendidik bisa melakukan tuntutan dan pengawasan langsung. Di sini menekankan aspek pengaruh sistem pondok dalam proses pendidikan. Kedua, melihat keakraban hubungan antara santri dan kiayi sehingga yang terakhir bisa memberikan pengetahuan yang hidup. Ketiga, pesantren ternyata telah mampu mencetak orang-orang yang bisa memasuki semua lapangan pekerjaan yang bersifat merdeka. Keempat, cara hidup para kiayi yang sederhana, tetapi toh penuh kesenangan dan kegembiraan, dalam memberi penerangan bagi bangsa kita yang miskin. Kelima, pesantren merupakan sistem pendidikan yang murah biaya penyelenggaraanya untuk menyebarkan kecerdasan bangsa.[5]

Demikian juga dengan Ki Hadjar Dewantoro pernah mencita-citakan model pesantren bagi sistem pendidikan yang ingin dikembangkannya. Karena model pesantren dinilainya sebagai kreasi budaya Indonesia, setidak-tidaknya Jawa, dan menurut model itulah Ki Sarino Mangunpranoto salah seorang murid Ki Hadjar, mengembangkan sekolah Farming di Unggaran.

Pendidikan Keindonesiaan

Lalu Pesantren di Jawa, Meunasah/Dayah di Aceh, Surau di Minangkabau merupakan sistem pendidikan yang asli Indonesia. Seperti dikatakan Cak Nur (Nurcholish Madjid), pesantren atau pondok adalah lembaga yang mewujudkan proses wajar perkem-bangan sistem pendidikan nasional. Dari segi historis, pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tetapi juga keaslian (indigenous) Indonesia.[6]

***

Lalu bagaimana secara lengkapnya, pembaca dapat mendownload pada link berikut ini.

https://drive.google.com/file/d/1nt7QrS3O-3AApWUzMtswHoEoNIPrJ2Rz/view?usp=sharing

[1]     Perdebatan kedua sistem pendidikan ini diabadikan oleh seorang sastrawan yang bernama Achdiat K. Mihardja, dalam buku yang berjudul Polemik Kebudayaan’.

[2]     Kongres Permusyawaratan Perguruan Indonesia, di Solo, pada bulan Juni 1935.

[3]     M. Dawam Rahardjo, ‘Perkembangan Masyarakat dalam Perspektif Pesantren’, dalam M. Dawam Rahardjo (editor), Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, Perhimpunan Pengem-bangan Pesantren dan Masyarakat (PEM), Jakarta, 1985, hal. ix.

[4]     Ibid.

 [5]    Ibid., hal. ix-x.

[6]     Nurcholish Madjid, ‘Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Pesantren’, dalam M. Dawam Rahardjo (editor), Pergulatan Dunia Pesantren Membangun Dari Bawah, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (PEM), Jakarta, 1985, hal.3.