Pada draft awal, buku ini berjudul Syarhil Quran: Panduan dan Contoh Praktis, karya Eman Sulaeman, LPTQ, 2006. Lantas
berubah menjadi Syarhil Quran Tentang Kesalehan Sosial: Panduan dan Contoh Praktis, yang dihadirkan oleh LPTQ Provinsi Jawa Barat Tahun 2007.
Menurut Tim Penyusun, Buku ini berkaitan dengan hal-ihwal yang berkaitan dengan subtansi dan mekanisme Syarhil Quran sebagai bagian dari cabang yang dimusabaqohkan pada event MTQ diseluruh tingkatan.
Upaya internaslisasi dan sosialisasi kesolehan sosial antara lain melalui Musabaqah Syarhil Quran (MSQ), sebagai bagian dari ibadah dan harus dimulai dengan basmallah dengan segudang makna pesan moral dan etika yang terkandung di dalamnya.
Gubernur Jawa Barat, memberikan pengantar juga bahwa agenda kelima dari kebijakan pemerintah propinsi Jawa Barat dalam melakukan akselerasi peningkatan kesejahteraan masyarakat guna mendukung pencapaian visi Jawa Barat, yaitu “Dengan Iman dan Taqwa Jawa Barat sebagai Propinsi Termaju di Indonesia dan Mitra Terdepan Ibu Kota Negara tahun 2010”, adalah peningkatan kualitas kehidupan sosial berdasarkan agama dan budaya daerah.
Guna mewujudkan agenda tersebut, diimplementasikan melalui gerakan kesalehan sosial yang bertujuan antara lain: Menempatkan kesalehan sosial sebagai landasan utama dalam pembangunan Sumber Daya Manusia; Pembangunan Ekonomi; Peningkatan Penyelengaraan Pelayanan Pemerintah; dan Pengolahan Lingkungan.
Khususnya, dalam akselerasi peningkatan kesejahteraan masyarakat, guna mendukung pencapaian visi Jawa Barat tahun 2010, sebab kesalehan sosial adalah sikap dan prilaku yang merefleksikan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Dalam bentuk kebijakan dalam kehidupan bermasyarakat sebagi perwujudan dari interaksi antara individu anggota masyarakat dalam menegakan hak dan kewajiban di antara sesamanya.
Buku ini, dipandang memiliki banyak fungsi, antara lain: merupakan salah satu upaya nyata proses internalisasi dan sosialisasi butir-butir kesalehan sosial melalui kegiatan Syarhil Quran yang menjadi salah satu cabang MTQ dan sekaligus dapat dijadikan bahan pelatihan kader pelaku Syarhil Quran di semua tingkatan LPTQ di wilayah provinsi Jawa Barat.
Mengingat Syarhil Quran ditampilkan dalam bahasa lisan secara tatap muka langsung dengan khalayak, maka proses internalisasi dan sosialisasi kesalehan sosial melalui kegiatan ini dinilai sangat strategi dalam upaya akselerasi realisasi visi dan misi pembangunan pemerintah provinsi Jawa Barat.
***
Sementara itu dalam pendahuluan, atau Khithabah istilah buku ini, bahwa MSQ adalah bagian dari upaya dakwah. Dengan penjelasan lebih lengkap antara lain.
Dakwah merupakan bahasa Arab, berasal dari kata da’wah, yang bersumber pada kata: دعا- يدعو- دعوة )da’a, yad’u, da’watan,( yang bermakna seruan, panggilan, atau undangan. Seruan yang dimaksud, menurut Q.S. Ali-Imran [3]: 104 adalah seruan kepada segenap umat manusia menuju al-Khayr.
Al-Khayr, menurut para mufassir adalah al-Islam dalam arti yang seluas-luasnya yaitu agama semua nabi sepanjang zaman. Dengan demikian dakwah adalah proses Islamisasi (islamization process)[1].
Dalam kapasitas sebagai “da’i”, Allah SWT mengajak umat manusia menuju al-Islam, sebagaimana diungkapkan dalam Q.S. Yunus [10]: 25).
Allah menyeru (manusia) ke Dar al-Isalam, dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam).
Al-Islam yang dimaksud adalah al-Islam yang kaffah sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 208. Sedangkan al-Islam yang kaffah adalah tercapainya isi, substansi, dan essensi al-Islam itu sendiri, yaitu al-Islam yang secara theologis berupa ajaran untuk berserah diri hanya kepada Allah SWT., dengan mengikuti segala sistem ajaran-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Islam yang secara sosiologis, berupa sistem ajaran yang mampu memberikan kedamaian (salam) dan kesejukan (silam) serta kesejahteraan atau kesentosaan (salamah) bahkan tercapainya kualitas hidup yang lebih baik bagi umat manusia di dunia dan di akhirat (sullam).
Pemahaman bahwa dakwah sebagai seruan kepada al-Islam itu, menurut Ibn Taimiyah adalah ajakan kepada agama Allah SWT., yaitu ajakan untuk beriman kepada-Nya dan kepada ajaran yang dibawa para utusan-Nya, membenarkan berita yang mereka sampaikan, serta mentaati perintah mereka. Hal itu mencakup ajakan untuk mengucapkan dua kalimah syahadat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan melaksanakan ibadah haji. Juga mencakup ajakan untuk beriman kepada Allah, malaikat-Nya, para utusan-Nya, hari kebangkitan, dan beriman kepada qadha dan qadar-Nya yang baik maupun yang buruk. Serta ajakan untuk beriman kepada-Nya seolah-olah melihat-Nya.[2]
Karena pada dasarnya, semua manusia (al-Insan) sudah berislam sejak di alam ruh, maka hakikat dakwah bisa pula diartikan sebagai upaya mengingatkan manusia (al-Insan) yang berpotensi lupa (nisyan). Dan materi pokok yang dilupakan manusia adalah perjanjian primordial (priomordial convenant atau ahd al-fithri fi alam al-Ruh) berupa syahadah al-Ilahiyah atau pengakuan manusia akan eksistensi Allah SWT sebagai rabb-Nya (Q.S.al-‘Araf [7]:172).
Atas dasar perjanjian itu, maka manusia ketika lahir ke dunia dalam keadaan fithrah atau suci membawa tauhidullah yakni beriman dan berislam (Q.S.al-Rum [30]: 30). Akan tetapi manusia lupa atau melupakan perjanjian itu, maka dakwah berfungsi mengingatkan kembali terhadap perjanjian itu.
Oleh karena itu, dalam pandangan Syaikh ‘Ali Mahfudz, urgensi dakwah sebagai upaya membangkitkan kesadaran manusia di atas kebaikan dan bimbingan, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar supaya mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat.[3]
Sedangkan dari segi hukum, menurut al-Mawardi upaya menyeru umat manusia melaksanakan kebaikan (al-Ma’ruf) dan meningalkan perbuatan buruk (al-Munkar) merupakan urusan keagamaan (al-Qawaid al-Diniyah)[4].
Hukum wajib tersebut telah ditetapkan oleh al-Qur’an, al-Sunnah serta Ijma’ (ijm’a al-Umah).[5] Bahkan dalam pandangan Ibn Taimiyah, melaksanakan dakwah (ta’muruna bi al-Ma’ruf wa tanhawna ‘an al-Munkar) merupakan kewajiban yang utama dan pertama serta sebaik-baiknya perbuatan[6].
Pada realiasasinya, dalam melaksanakan kewajiban dakwah, jika dilihat dari interaksi da’i dengan mad’u-nya, terbagi ke dalam lima tingkatan, yaitu (1) Da’wah nafsiyyah, yaitu dakwah seseorang kepada dirinya sendiri dalam bentuk wiqayah al-Nafs; (2) Da’wah fardiyah, yaitu dakwah seseorang kepada orang lain dalam jumlah mad’u (objek dakwah) seorang, dua orang atau tiga orang dalam bentuk irsyad, tadbir, tamkin, dan tathwir; (3) Da’wah Fi’ah Qalilah, yaitu dakwah seseorang kepada kelompok kecil dalam bentuk irsyad, tadbir, tamkin dan tathwir; (4) Da’wah fi’ah katsirah, yaitu dakwah seseorang kepada kelompok besar, dalam bentuk tabligh; (5) Dakwah Jama’ah atau hizbiyah yaitu dakwah seorang atau kelompok/jama’ah atau organisasi dalam bentuk irsyad, tadbir, tamkin, dan tathwir; (6) Da’wah ummah, yaitu dakwah seseorang kepada khalayak atau publik dalam bentuk tabligh; (7) Da’wah Syu’ubiyah wa Qabailiyah yaitu dakwah seorang kepada Mad’u jika da’i dan mad’u berbeda budaya dalam bentuk irsyad, tadbir, tamkin dan tathwir.[7]
Metode Dakwah
Dari segi bahasa, metode berasal dari dua perkataan, yaitu meta yang berarti melalui dan hodos yang berarti jalan atau cara[8]. Dalam bahasa Yunani metode berasal dari akar kata methodos yang berarti jalan. Sedangkan dalam bahasa Jerman metode berasal dari akar kata methodica yang berarati ajaran tentang metode. Sedangkan dalam bahasa Arab metode disebut thariq, atau thariqah yang berarti jalan atau cara. Kata-kata tersebut identik dengan kata al-Ushlub[9].
Inilah pentingnya wawasan MSQ dihadirkan kepada pembaca. Jelasnya dapat dibaca pada downloadan berikut ini.
https://drive.google.com/file/d/1TS0bo3XwLDG4RHntudXzHD5UeCabRtDi/view?usp=sharing
[1]Islamisasi berarti mempertahankan keislaman muslim dan mengupayakan orang luar Islam agar masuk Islam. Fakultas dakwah berarti fakultas Islamisasi di dalamnya harus terdapat upaya-upaya strategis untuk melakukan Islamisasi. Hal ini senada dengan konsep pendidikan barat (kristen) mereka memiliki Mision Faculty (fakultas Misionaris) dengan program melakukan kristenisasi
[2] Syaikh Ibn Taimiyah, Majmu’ah al-Fatawa, Juz XV, (Saudi: al-Thab’ah as-Sa’udiyah, 1398H).,hlm. 157-158.
[3] Syaikh Ali Mahfudz, Hidayat al-Mursidin, lihat juga Abdul Kadir Sayid Abd Rauf, Dirasat fi da’wah al-Islamiyyah, (Kairo: Dar al-Tiba’ah al-Mahmadiyah), 1987, hlm. 10
[4]Imam al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Mesir: Syirkah wa Matba’ah Musthafa al-Baby,Cet.ke-3, 1393), hlm. 258.
[5] Lihat. Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim 2/22
[6] Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar, (Beirut: Dar al-Kitab al-Jadid, Cet. I, 1396 H), hlm.26-27
[7] Lihat. H. Syukriadi Sambas, M.Si., Sembilan Pasal Filsafat Dakwah, (Bandung: KP Hadid, 1999, hlm. 7
[8] M.Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 61
[9]Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Ponpes Al-Munawir, 1984), hlm. 910