Memilih Sistem Pendidikan di Indonesia

Arah pendidikan Indonesia akan dibawa kemana? Inilah salah satu yang sering dipertanyakan dalam berbagai diskursus tentang pendidikan di Indonesia. Sebab, hal ini akan berdampak pada praktek pengelolaan penyelenggaraan, hingga teknis di lapangan.

kemana arah pendidikan indoUpaya untuk menjawab itu, salah satunya disodorkan oleh penulis pajampangan, Henda Pribadi. Ia menulis buku Arah Baru Pendidikan Indonesia; Stimulus untuk Pendidikan Bercorak ke-Indonesia-an, yang diterbitkan oleh Penerbit Yayasan AMMA Surade, 2015.

Untuk menguatkan perihal upayanya itu, penulis merekomendasikan pengantar yang dibuatkan oleh DR. Reni Marlinawati, salah satu srikandi legislator Sukabumi Komisi X, bidang garapan Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata, Kesenian dan Kebudayaan.

Inilah pengantar yang Reni tuliskan dengan penyesuaian oleh admin.

***

PILIHAN SISTEM PENDIDIKAN

Perdebatan mengenai sistem pendidikan di Indonesia sudah terjadi jauh sebelum Indonesia Merdeka (tahun 1935), khususnya mengenai sistem pendidikan Barat dengan sistem pendidikan Pesantren.[1] Perdebatan sistem pendidikan ini meski tidak spesifik tentang pesantren, namun sistem pendidikan pesantren dalam ‘Polemik Kebudayaan’ menjadi salah satu topik perdebatan.[2]

Dalam perdebatan tersebut pesantren bagi Sutan Takdir Alisyahbana (STA) merupakan lembaga pendidikan kolot anti kemajuan. Pro Pesantren kata Sutan Takdir sebagai anti ‘intelektualisme, individual-isme, egoism dan materialisme’. Dalam konteks ini Sutan Takdir menginginkan berlakunya sistem pendidikan Barat modern yang bertujuan untuk mengasah intelek setajam-tajamnya, menghidupkan individulita sehidup-hidupnya, membangunkan keinsafan akan kepentingan diri dan mendidik bangsa untuk mengumpulkan dan memakai harta dunia.[3]

Menghadapi tuduhan STA, dr. Sotomo memberi penjelasan mengenai apresiasinya terhadap pesantren. Pada zaman nenek moyang saya, yaitu pada kira-kira abad ke-19, pesantrenlah tempat perguruan yang asli. Karena belum terdesak oleh sekolahan gubernemen, pesantren itu ribuan bilangannya. Pengaruh perguruan itu terhadap masyarakat kita, civilization rakyat, tidak bisa diabaikan … pesantren dan pondoknya mempersatukan anak-anak muda kita dari segala lapisan masyarakat. Anak orang tani, anak saudagar, anak bangsawan, berkumpul dalam pondok itu, keadaan lahir dan batinnya diberi pimpinan yang sama oleh guru, sehingga pemuda-pemuda itu, yang dibelakang hari megang pekerjaan yang beraneka-ragam itu di dalam masyarakat, toh merasa satu perikatan lahir dan batin yang telah diletakan, ditanam di dalam pondok dan pesantren itu, dari lapisan manapun, tidak terpecah belah, terpisah satu sama lain seperti sekarang.[4]

Selain itu ada beberapa hal yang membuat dr. Sotomo tertarik pada pesantren. Pertama, tertarik pada sistem pondoknya, karena dengan sistem itu pendidik bisa melakukan tuntutan dan pengawasan langsung. Di sini menekankan aspek pengaruh sistem pondok dalam proses pendidikan. Kedua, melihat keakraban hubungan antara santri dan kiayi sehingga yang terakhir bisa memberikan pengetahuan yang hidup. Ketiga, pesantren ternyata telah mampu mencetak orang-orang yang bisa memasuki semua lapangan pekerjaan yang bersifat merdeka. Keempat, cara hidup para kiayi yang sederhana, tetapi toh penuh kesenangan dan kegembiraan, dalam memberi penerangan bagi bangsa kita yang miskin. Kelima, pesantren merupakan sistem pendidikan yang murah biaya penyelenggaraanya untuk menyebarkan kecerdasan bangsa.[5]

Demikian juga dengan Ki Hadjar Dewantoro pernah mencita-citakan model pesantren bagi sistem pendidikan yang ingin dikembangkannya. Karena model pesantren dinilainya sebagai kreasi budaya Indonesia, setidak-tidaknya Jawa, dan menurut model itulah Ki Sarino Mangunpranoto salah seorang murid Ki Hadjar, mengembangkan sekolah Farming di Unggaran.

Pendidikan Keindonesiaan

Lalu Pesantren di Jawa, Meunasah/Dayah di Aceh, Surau di Minangkabau merupakan sistem pendidikan yang asli Indonesia. Seperti dikatakan Cak Nur (Nurcholish Madjid), pesantren atau pondok adalah lembaga yang mewujudkan proses wajar perkem-bangan sistem pendidikan nasional. Dari segi historis, pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tetapi juga keaslian (indigenous) Indonesia.[6]

***

Lalu bagaimana secara lengkapnya, pembaca dapat mendownload pada link berikut ini.

https://drive.google.com/file/d/1nt7QrS3O-3AApWUzMtswHoEoNIPrJ2Rz/view?usp=sharing

[1]     Perdebatan kedua sistem pendidikan ini diabadikan oleh seorang sastrawan yang bernama Achdiat K. Mihardja, dalam buku yang berjudul Polemik Kebudayaan’.

[2]     Kongres Permusyawaratan Perguruan Indonesia, di Solo, pada bulan Juni 1935.

[3]     M. Dawam Rahardjo, ‘Perkembangan Masyarakat dalam Perspektif Pesantren’, dalam M. Dawam Rahardjo (editor), Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, Perhimpunan Pengem-bangan Pesantren dan Masyarakat (PEM), Jakarta, 1985, hal. ix.

[4]     Ibid.

 [5]    Ibid., hal. ix-x.

[6]     Nurcholish Madjid, ‘Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Pesantren’, dalam M. Dawam Rahardjo (editor), Pergulatan Dunia Pesantren Membangun Dari Bawah, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (PEM), Jakarta, 1985, hal.3.