Barangkali benar bahwa pada hari ini tidak ada sesuatu yang paling menyibukan banyak kalangan masyarakat kita yaitu pemikiran tentang bagaimana mendorong terwujudnya Model Pendidikan Baru.
Tentunya perkataan “baru” sendiri syarat dengan makna, sehingga tidak dapat dihindari adanya banyak perbedaan pengertian dan pemahaman.
Oleh Karena itu, sudah sepatutnya kita semua secara bersama-sama merembuk persoalan itu dan saling mengisi kekurangan masing-masing dalam pemahamannya, sejalan dengan makna sebenarnya prinsip musyawarah (saling memberi isyarat, yakni isyarat tentang hal yang sekiranya benar dan baik untuk semua).
Sebenarnya ”baru” ataupun “lama” sebagai kualifikasi tentang apapun dapat sangat relatif. Misalnya, tidak selamanya kita harus memahami sesuatu sebagai “baru” dalam artian sama sekali lepas dari masa lampau, yakni dari keadaan “lama”-nya.
Sebab salah satu kenyataan tentang sesuatu yang dikategorikan kedinamisan, yang selalu bergerak dan berkembang, ialah kesinambungan. Lebih-lebih tentang agregat budaya, politik dan kemasyarakatan seperti pendidikan, kategori kedinamisan itu mengharuskan kita melihatnya dalam rangkaian keutuhan kontinuitas yang panjang.
Dalam hal budaya, politik, dan kemasyarakatan, pendekatan itu berarti mengharuskan kita melihat suatu persoalan tidak berdiri sendiri secara terpisah dari masa lalu dan masa depan, seolah-olah merupakan kenyataan dalam batasan waktu sesaat dan tempat tertentu semata.
Kita harus melihat pendidikan dalam kaitannya dengan masa-masa sebelumnya, dengan dugaan tentang pengaruhnya di masa depan, semua itu dalam makna positif maupun negatifnya. Maka dengan demikian, juga tentang ide “Model Pendidikan Baru”, kita akan memperoleh pemahaman lebih tepat dengan melihat linkage-nya dengan masa lampau dan membuat perkiraan tentang implikasinya bagi masa depan.
Pertama-tama frasa pendidikan sendiri adalah suatu istilah, (Arab: Isthilâh, yaitu “ungkapan kesepakatan”), suatu ungkapan hasil kesepakatan masyarakat, sebagian atau seluruhnya dengan makna-makna tertentu.
Karena kesepakatan itu tidak pernah dilakukan secara nyata dan formal, maka suatu ungkapan istilah tetap mengandung kemungkinan perbedaan pengertian atau pemahaman dan kontroversi. Jika suatu istilah benar-benar memasya-rakat, maka kemantapan pengertiannya terjadi oleh adanya proses penerimaan dan kesepakatan pasif secara umum.
Untuk memahami pendidikan, dapat dilihat melalui 2 (dua) sisi; yaitu pertama secara konseptual dan kedua secara faktual. Secara konseptual pendidikan yang hendak diwujudkan di negara Indonesia adalah pembentukkan manusia yang bertindak sebagai manusia pancasilais dalam Islam dikenal istilah khalifah yang ciri-cirinya terkandung dalam konsep ibadah dan amanah.
Manusia sebagai khalifah ini mempunyai ciri-ciri yang membedakannya dari makhluk yang lain, yakni mempunyai fithrah yang baik, mempunyai roh, disamping jasmani, mempunyai kebebasan kemauan, dan mempunyai akal yang menjadi inti manusia itu. Oleh karena itu, humanisasi satu-satunya pilihan bagi kemanusiaan. Secara dialektis, jika kenyataan menyimpang dari keharusan, maka menjadi tugas manusia untuk merubahnya sesuai dengan apa yang seharusnya.
Oke supaya anda tuntas, bacalah pada link berikut ini. Sebelumnya download dulu, hehe.
https://drive.google.com/file/d/1ZNlPEkuT0yFMXYss4g4v0iJ7iwFwYOjU/view?usp=sharing