Pendekatan Kearifan Lokal Dalam Pengembangan Geopark Ciletuh-Palabuhanratu

Pendekatan Kearifan Lokal

Dalam Pengembangan Geopark Ciletuh-Palabuhanratu

Oleh : Mansur Asy’arie

 

Fenomena Gerusan Budaya

Gaya hidup dan kecederungan masyarakat di negara-negara ketiga, termasuk Indonesia, terutama generasi muda yang meninggalkan kekayaan leluhur berupa kearifan lokal, tidak serta merta terjadi begitu saja. Hal ini adalah akumulasi dari perilaku dan gaya hidup komunal bangsa. Maka pengembalian kecenderungan ini juga mesti dilakukan secara komunal dan permisif, dengan pemahaman, dukungan serta penerapan masyarakat kita secara bersama-sama, bahwa potensi warisan leluhur, berupa kearifan lokal adalah modal yang sangat berharga dalam rangka mempertahankan identias masyarakat.

Karakteristik pengembangan tersebut tentu harus dipahami dan disadari sejak awal oleh masyarakat, bahwa memerlukan proses yang telaten, waktu yang relatif lama dan sangat sangat menjunjung tinggi kebiasaan, tradisi lokal, dan penghormatan terhadap kekayaan alam, sebagai sebuah keseimbangan alamiah, dan penghormatan serta pengabdian kepada Sang Pencipta, sebagai rasa syukur.

Di sisi lain, tuntutan dan kecenderungan hidup yang mengadaptasi pengembangan inovasi, yang penerapannya dengan berbasis pada kemajuan teknologi informasi yang serba instan, digital dan pragmatis, bukanlah sesuatu yang tabu. Pengembangan ini bukan untuk mengganti proses panjang tradisi lokal, tetapi sebaliknya yaitu untuk mengefektifkan nilai-nilai warisan leluhur, dengan cara penjagaan originalitas warisan tersebut, keseimbangan dengan hukum-hukum alam, prinsip kehati-hatian dan penjagaan hasil-hasil bumi yang telah dianugerahkan oleh Sang Penguasa.

Selebihnya, berbagai upaya tarik-menarik kepentingan ekonomi, politik, sektarian, para pemodal, dunia usaha, komunitas dan pelanggengan kekuasaan berbagai pihak, antara lokal (daerah) dengan pusat, dalam praktik operasionalisasi pembangunan juga masih menjadi kendala.

Inilah antara lain sejumlah masalah yang dihadapi oleh kita dalam upaya pengembangan dan pembangunan masyarakat, khususnya kawasan Geopark Ciletuh-Palabuhnaratu. Karena itu, maka perlu dicari pendekatan, mekanisme dan kesepahaman berbagai elemen yang terlibat dalam rangka proses pembangunan, yang membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit ini.

 

Mencari Identitas Budaya Lokal

Kawasan Geopark Ciletuh-Palabuhanratu yang disadari belakangan ini berada pada sebuah spasial khusus, adalah takdir. Takdir ini menjadi anugerah tersendiri yang bersifat unik untuk setiap makhluk yang hidup di dalamnya. Hal itu, sebagai bukti dari kemahasucian, keagungan dan kemahakuasaan Sang Pencipta. Kita tidak bisa mengelak, untuk terlahir dan berada pada sebuah wilayah tertentu.

Takdir ini kemudian menjadi modal awal manusia yang hidup di belahan kawasan ini, untuk menentukan kehidupannya bersama-sama atau sendiri-sendiri. Sehingga dalam kurun waktu tertentu makhluk hidup di kawasan tersebut berinteraksi membentuk karakter khas-spesifik. Dalam pandangan antropologis hal itu kemudian menjadi ciri khas budayanya. Budaya setempat itu terjadi alami, sebagai entitas primordial. Kekhasan budaya dalam ikatan sosial dasar tersebut, menurut Steven Mock (2009), akan menjadi kekuatan utama.

Sebagai manusia yang terlahir dalam kesamaan takdir, di kawasan ini, maka tentu mempunyai proyeksi hidup yang dimungkinkan akan memperkuat identitasnya, dengan cara mempertahankan kebersamaan, persatuan, warisan leluhur, kearifan lokal dan identitas lainnya, sebagai pandangan komunal.

Tetapi mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Kirsten Kearney (2007), pada Constructing The Nation: The Role of The Ballad in Twentieth Century German National Identity with Special Reference to Scotland, bahwa pada Abad ke-20 perkembangan gagasan kesadaran spasial terbukti efektif menjadi kekuatan positif sebagai konsep untuk pembangunan masyarakat. Bahkan sesungguhnya pengakuan bahwa identitas komunal tidak selalu alami, melekat dan mudah, tetapi lebih merupakan konstruksi yang disengaja, yang dibuat oleh orang atau kelompok untuk kepentingan politik, sosial dan budaya yang berbeda. Pandangan ini lebih elegan, karena mengkolaborasi unsur takdir dan usaha.

Realitasnya, ada sejumlah elemen yang berkontribusi menjadi identitas dasar setiap orang, yang kemudian menjadi penentu kesadaran kebersamaan, senada dengan M. Quraish Shihab (2000), dalam Wawasan Al-Quran, yaitu:

  1. Tubuh fisik (yang meliputi warna kulit, ukuran, jenis rambut dan ciri-ciri wajah).
  2. Nama orang (nama individu, nama keluarga dan nama grup).
  3. Bahasa, belajar pertama untuk berbicara dan dengan yang satu menemukan dunia.
  4. Agama seseorang diindoktrinasi ke dalam.
  5. Sejarah dan asal dari kelompok satu dilahirkan.
  6. Kebangsaan seseorang, atau afiliasi etnis.
  7. Geografi tempat kelahiran.
  8. Budaya yang diwarisi.

Hal-hal itu sekali lagi dikategorisasikan sebagai faktor primordial. Artinya ada sejak manusia terlahir. Lalu menjadi identitas. Kendati wacana primordialisme juga mendapat kritik, karena tidak dapat menjelaskan asal-usul, perubahan dan pembubaran kelompok etnis secara tuntas.

Dalam konteks ini, Dumlupinar (2013) berpendapat bahwa identitas adalah konstruksi dan dibentuk sesuai dengan urgensi konjungtur yang ada. Dumlupinar mengajukan dua cara menafsirkan karakter komunal sebagai tipe ideal dasar: yaitu identitas primordial dibandingkan dengan indentitas instrumental.

Dalam terminologi primordial bahwa pelaku utama yang ethno-nation, yaitu komunitas yang menyatukan individu melalui persamaan etnik. Sedangkan Instrumental cara menafsirkan masyarakat yang menekankan aspek pragmatis dan situasional dari komunitas besar mereka.

Dengan demikian, kenyataan terbentuknya budaya lokal, baik melalui usaha sistematik maupun alami, merupakan ciri khas budaya lokal yang dapat dijadikan modal utama untuk memproyeksikan masa depan mereka menuju kesejahteraan.

Sejumlah identitas budaya lokal kawasan geopark Ciletuh-Palabuhanratu sudah diidentifikasi sejak lama, setidaknya oleh tim perumusan rencana induk pengembangan kawasan ini. Baik dalam bentuk potensi seni tradisi, warisan budaya sosial, aspek kekhasan goegrafis maupun ancaman kehidupan sesuai karakter lokal.  Kendatipun sosialisasinya masih belum gencar.

 

Menelisik Lingkungan Kawasan

Tentang situasi kehidupan lingkungan, terutama pandangan Postmodern, terjadi ambivalensi. Di satu sisi, hal ini ditandai dengan struktur global yang memungkinkan orang untuk melihat diri mereka sebagai warga dunia. Di pihak lain, mereka juga terikat diatur dalam bentuk negara bangsa yang mengikat warga untuk menjadi warga negara.

Karena itu, sebagai masyarakat dengan kehidupan komunal kita harus mengorientasi ulang tentang cara pandang bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Baik dalam entitas skala lokal, nasional maupun dalam konstelasi pergaulan dunia global. Sehingga tidak tercerabut pada bergaya global semata, tetapi melupakan kekayaan leluhur berupa kearifan lokal.

Fenomena globalisasi adalah kenyataan yang tak dapat dihindari. Adapun bangsa merupakan konstruksi modern. Walau terkadang, kebanyakan kita mengidentifikasi bahwa bangsa sebagai kontinuitas kehidupan yang terbentuk dari para pendahulunya, sebagai tradisi dan warisan. Sedangkan lingkungan kehidupan kawasan lokal terjadi lebih alami dan abadi sesuai dengan potensi anugrah Tuhan.

Dalam percaturan kehidupan lingkup geografis, simbol bangsa berfungsi untuk bernegosiasi dengan sesama bangsa lain, simbol lokal dengan budaya etnis tradisional, yang mengandalkan konten simbolis yang dimiliki secara unik, berfungsi untuk tarekah pensejahteraan. Pada saat yang sama, global, nasional dan lokal, merupakan relasi transformasi sosial juga diperlukan agar negara dapat menegaskan klaim dalam konteks politik modern sebagai perwujudan identitas tersendiri yang mandiri dalam percaturan global (dunia), dengan mengaruhutamakan kondisi lokal (kearifan lokal) sebagai perekat yang efektif dan kuat, untuk memberikan ikatan emosi sebagai sebuah bangsa.

Dalam hal upaya sinergitas kita kembali merujuk pada adigium tentang wawasan global, komiten nasional dan memperkuat potensi lokal. Untuk itu, perlu pembagian garapan secara jelas dan tegas agar tidak terjadi simpangsiur dan pencampuradukan kepentingan. Apalagi tatkala kawasan ini ingin menuju taman bumi internasional.

 

Rekonstruksi Budaya Lokal

Ide sebagai awal munculnya sebuah budaya, banyak dipengaruhi oleh sistem kepercayaan. Agama dalam teks,  imamat, liturgi, keyakinan dan jenis lain, sebagai fakta sosial umat beragama, mereproduksi diri mereka sendiri dari waktu ke waktu. Menurut Scott Atran (2010) ketika manusia berhubungan dengan ‘nilai-nilai sakral’, sering terbumbui oleh kepentingan instrumental dan tidak rentan terhadap negosiasi rasional. Kendati bentuk-bentuk pengamalan keagamaan memiliki kekuatan sosial otonom, yang sangat kuat.

Sesuai dengan ajaran agama, bahwa memperbaiki situasi umat manusia adalah kepentingan kita dan merupakan tanggung jawab moral untuk pembangunan, yang berdasar pada paradigma etika ajaran agama. Inilah potensi awal pemikiran budaya yang melekat kuat dalam masyarakat apapun.

Dalam upaya pembangunan masyarakat tentu berusaha untuk menciptakan identitas nasional yang kuat, mengakui keragaman dan keunikan rakyatnya identitas lokal, serta mengimbangi percaturan di dunia, jangan sekali-kali melupakan kekuatan pemikiran agama. Selain itu, bahwa pembangunan bangsa membutuhkan orang-orang lokal yang tersedia untuk berpartisipasi “mengambil alih” sebagian besar tugas negara untuk mengembangkan warisan leluhur mereka, yang bentuknya berupa budaya lokal.

Nampaknya beberapa pendekatan dapat dikemukakan untuk merekonstruksi budaya, antara lain dinyatakan oleh Ahmed N.A. Hassin (2015), yang berdasar pada penelitiannya di Irak, tentang situasi negara dalam konteks pembangunan berbangsa. Bahwa pendekatan budaya lebih sensitif untuk mempelajari masyarakat sipil, dan kebutuhan untuk mengambil pertimbangan heterogenitas adat sangat potensial, karena masyarakat sipil sifatnya tidak monolitik; bukan bentuk dan fungsi yang dibentuk oleh konteks tertentu. Dengan demikian, penting untuk memperhitungkan upaya yang lebih mencerminkan pendekatan budaya.

Hassin mengadaptasi konsep pemberdayaan yang dikemukakan oleh sejarawan Muslim klasik, Ibnu Khaldun tentang ashabiyah atau solidaritas sosial. Konsep itu, menyediakan platform teoritis yang relevan untuk memahami peran masyarakat sipil. Ashabiyah menyediakan pendekatan konseptual yang lebih sesuai dengan budaya, untuk mempelajari masyarakat sipil di kawasan tertentu, terutama Timur Tengah. Khaldun berpendapat solidaritas sosial di suku masyarakat ditemukan baik dalam formal, dan non-formal yang diselenggarakan oleh kelompok masyarakat, dan itu adalah alat untuk memobilisasi dan perubahan sosial-politik.

Dengan demikian, dalam pendekatan budaya, masyarakat sipil dikonseptualisasikan sebagai spektrum yang luas dari formal dan organisasi non-formal dan jaringan yang ada di luar negara, yang didominasi oleh tokoh-tokoh komunal (kelompok), yang dapat memiliki peran sosial-ekonomi dan politik, sesuai tipologi masyarakatnya.

Pendekatan budaya juga memberikan implikasi pembagian peran, sesuai dengan kekuatan dan posisi masing-masing, dalam komunitasnya. Isu ini disarankan oleh Mohamed A. Abdi. (2010), bahwa pelajaran pembagian peran ini pada praktek kemitraan, setidaknya memperhatikan hal-hal berikut:

  1. Rekonstruksi pasca identifikasi warga membutuhkan kemitraan strategis antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil untuk tugas pembangunan.
  2. Dalam pengaturan kemitraan, pemerintah yang harus mengambil peran utama dalam memainkan peran harmonisasi fungsi ketiga elemen.
  3. Sektor swasta memiliki peran pendukung penting dalam bidang pertumbuhan ekonomi dan merekonstruksi perkembangan budaya.
  4. Organisasi masyarakat sipil harus menunjukkan upaya kolaborasi yang kuat dalam keseluruhan restrukturisasi administrasi dan partisipasi masyarakat dalam urusan berbudaya.

Dalam pelaksanaan rekonstruksi budaya di kawasan ini menurut penulis, dapat dilakukan dengan upaya penggalian warisan kearifan lokal khas yang melekat pada masyarakat setempat, yang belum teridentifikasi secara jelas dan tuntas. Sebagai contoh antara lain adalah pengembangan irigasi dalam pertanian seperti Subak di Bali, Budaya Leuit Ciptagelar dalam sistem pertahanan pangan, sistem Huma dengan mekanisme yang benar berdasarkan warisan leluhur dengan sistem rotasi tempat dan waktu, dan akulturasi kearifan lokal lain, baik tradisional maupun modern terhadap berbagai bentuk budaya yang kian ditinggalkan generasi muda saat ini, dengan budaya-budaya lokal lainnya yang cocok dengan karakteristik kawasan.

Dus, pelaksanaan konstruksi budaya itu merupakan pewarisan nilai-nilai luhur tradisi lokal kepada generasi penerus adalah dengan interkoneksi dan trans generasi, agar marwah masyarakat tetap terjaga hingga waktu tak terbatas. Bisa jadi, hal itu menjadi sesuatu yang sangat mahal harganya. Bahkan, mungkin membutuhkan pengorbanan jiwa dan raga.**

 

Bahan Bacaan

Ahmed N. A. Hassin (2015), (Roles of Civil Society in Nation-Building and Postconflict Reconstruction in Iraq. Deakin University March, 2015. Diunduh pada 27 Februari 2017 dari laman http://dro.deakin.edu.au/eserv/DU:30079137/hassin-rolesof-2015A.pdf.

Dumlupinar (2013)  (The Construction of National Identity in Modern Times: Theoretical Perspective Hüsamettin İnaç Assoc. International Journal of Humanities and Social Science. Vol. 3 No. 11; June 2013. Diunduh pada 15 Maret 2017 dari halaman http://www.ijhssnet.com/journals/Vol_3_No_11_June_2013/24.pdf)

Josep R. dalam Recent Theories of Nationalism. Llobera University College London. Diunduh 20 Februari 2017 dari laman http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.134.2256&rep=rep1&type=pdf)

Mohamed A. Abdi. (2010), bahwa, (Dalam Conlict Resolution And Nation Building In Somalia. Dissertation. Department Of Political Science Atlanta, Georgia July 2010. Diunduh pada 27 Februari 2017 dari halaman http://digitalcommons.auctr.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1738&context=dissertations

Steven Mock (2009)., dalam Images of Defeat in the Construction of National Identity. University of London 2009. Diunduh pada 20 Maret 2017 dari laman http://etheses.lse.ac.uk/2735/1/U615684.pdf).

Wlemongar Gaye (2012) pada Rethinking Nation-Building: A Christian Socio Ethical and Theo-Political Task for Appropriating the Common Good. Loyola University Chicago. December 2012. Diunduh pada 27 Februari 2017 dari halaman http://ecommons.luc.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1349&context=luc_diss

Penulis: mansurasyarie

MANSUR ASY'ARIE (yang lagi belajar menata kehidupan). DATA UMUM. Nama, Mansur Asy'arie (chun, mans, emegb). Alamat : Surade Kaler Rt. 06/02 Kel. Surade Kec. Surade Kab. Sukabumi 43179. Lahir di Sukabumi, 13 Mei. Pekerjaan: Wiraswasta (membina usaha sendiri Reganapoin: editorial, publishing, culture dan adventure). HP.: 08562269129, 089613722618, 085217143334. Email: mansur.asyarie@gmail.com, poin_surade@yahoo.com. YM: poin_surade, mansur_asyarie@rocketmail.com. Website: www.reganapoin.wordpress.com, www.reganapoin.co.cc. Isteri: 1 (satu) orang. Anak: 2 (dua) orang, Kaindra dan Regan. PENDIDIKAN, dimulai dari SDN 1 Pasiripis lulus tahun 1985. Lalu ke MTSN Pasiripis lulus tahun 1988. Melanjutkan ke PGAN Cibadak-Sukabumi lulus tahun 1991. Selanjutnya ke IAIN SGD Bandung, Fak. Sastra, Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, lulus tahun 1996. Lantas melanjutkan ke Pascasarjana UIN SGD Bandung, Konsentrasi Masyarakat Muslim (tidak tamat). Kini sedang mengikuti program Pascasarjana Minat Manajemen Administrasi Publik Universitas Terbuka Pendidikan nonformal yang pernah diikuti meliputi: Pelatihan jurnalistik 5 kali, Pelatihan kaligrafi, Pelatihan fotografi, Pelatihan kepembinaan (pramuka) mahir lanjutan, Pelatihan kepemimpinan (hingga advance) dan Pelatihan lain yang tidak dapat dituliskan di sini. PEKERJAAN. pernah menjadi reporter pada beberapa media: tabloid (majalah) News Otentik, Jurnal Sukabumi, Inspirasi; menjadi kontributor untuk Majalah Bekal Pembina (Jakarta), Majalah Pramuka (Jakarta), Tabloid (Majalah) Suara Cangkurileung (Bandung), dll. Pernah juga mengelola penerbitan (buletin) Biru (Bandung), AJS (Al-Jalil Surade), penerbitan buku Tarbiyah Press, Q-Center dan Tunas Nusantara (Bandung). Kini masih mengelola lembaga Regana Poin (Surade-Sukabumi). Mengelola yayasan sosial-pendidikan-keagamaan Al-Manshur Makmur Mandiri Abadi (AMMA) Surade-Sukabumi dan Penerbit AMMA. LAIN-LAIN. Terlibat aktif dalam berberapa lembaga keagamaan BAZ, MUI, ICMI, dll. Lebih lanjut dapat menghubungi via email.

3 tanggapan untuk “Pendekatan Kearifan Lokal Dalam Pengembangan Geopark Ciletuh-Palabuhanratu”

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.