Mencari Persamaan Identitas
Bangsa Indonesia terlahir pada sebuah kawasan spasial jamrud khatulistiwa adalah takdir. Takdir ini menjadi anugerah tersendiri yang bersifat unik untuk setiap makhluk, sebagai bukti dari kemahasucian, keagungan dan kemahakuasaan Sang Pencipta. Kita tidak bisa mengelak, untuk dilahirkan pada sebuah wilayah. Atau berkeinginan, untuk meminta sejak awal memproyeksikan ingin terlahir, hidup dan menetap di kawasan tertentu.
Banyak kabar keagamaan yang menegaskan hal tersebut. Tetapi yang ada baiknya kita pahami adalah bagaimana sesuatu yang dihadapi ini dapat mencakup pemahaman dan diharapkan memandu tindakan masal antara berbagai suku bangsa yang berbeda-beda menjadi sebuah kesadaran bahwa perbedaan itu adalah anugerah untuk membuat persamaan-persamaan dalam perbedaan menjadi harmoni.
Takdir ini kemudian menjadi modal awal manusia yang hidup di belahan Nusantara ini, yang kemudian jadi Indonesia, untuk menentukan kehidupannya bersama-sama. Selain kawasan tempat kita hidup dan menetap, yang juga merupakan modal awal persamaan sebagai manusia antara lain adalah sejarah, identitas dan lain-lain.
Faktor itu terjadi alami dan abadi, sebagai entitas primordial, tak terelakkan menjadi kekuatan sejarah. Meskipun muncul pandangan yang bersebrangan, seperti Elie Kedourie, yang melihat modal nasionalisme sebagai ideologi yang dikembangkan sengaja oleh para intelektual di Eropa abad ke-19 untuk melegitimasi dan konfigurasi sekuler kekuatan baru. Tetapi mafhum, didefinisikan bahwa kesamaan budaya adalah ikatan sosial dasar, menurut Steven Mock (2009).
Sebagai manusia yang terlahir dalam kesamaan takdir, maka tentu kita harus punya proyeksi hidup yang dimungkinkan akan memperkuat identitas, dengan cara mempertahankan kebersamaan, persatuan, warisan leluhur, kearifan lokal dan identitas lainnya, sebagai pandangan komunal nasional. Karena mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Kirsten Kearney (2007), pada Constructing The Nation: The Role of The Ballad in Twentieth Century German National Identity with Special Reference to Scotland, bahwa pada Abad ke-20 perkembangan gagasan nasionalisme terbukti efektif menjadi kekuatan positif sebagai konsep untuk pembangunan bangsa. Dan upaya pengakuan bahwa identitas nasional tidak selalu alami, melekat dan mudah, tetapi lebih merupakan konstruksi yang disengaja, yang dibuat oleh orang atau kelompok dalam bangsa untuk kepentingan politik, sosial dan budaya yang berbeda. Pandangan ini lebih elegan, karena mengkolaborasi unsur takdir dan usaha.
Realitasnya, ada sejumlah elemen yang berkontribusi menjadi identitas dasar setiap orang, yang kemudian menjadi penentu kesadaran berbangsa, senada dengan M. Quraish Shihab (2000), dalam Wawasan Al-Quran, yaitu:
a) Tubuh fisik (yang meliputi warna kulit, ukuran, jenis rambut dan ciri-ciri wajah).
b) Nama orang (nama individu, nama keluarga dan nama grup).
c) Bahasa, belajar pertama untuk berbicara dan dengan yang satu menemukan dunia.
d) Agama seseorang diindoktrinasi ke dalam.
e) Sejarah dan asal dari kelompok satu dilahirkan.
f) Kebangsaan seseorang, atau afiliasi etnis.
g) Geografi tempat kelahiran.
h) Budaya yang diwarisi.
Hal-hal itu kemudian disebut sebagai faktor primordial. Artinya ada sejak manusia terlahir. Lalu menjadi identitas. Kendati wacana primordialisme telah mengalami kritik luas, karena tidak dapat menjelaskan asal-usul, perubahan dan pembubaran kelompok etnis secara tuntas. Ini antara lain catatan Josep R. dalam Recent Theories of Nationalism. Llobera University College London.
Bahkan tatkala politik menjadi panglima, identitas dapat dilihat sebagai kerangka umum politik dunia saat ini. Karena itu, etnis, sektarian, agama dan identitas nasional yang menonjol sebagai titik referensial politik internasional. Namun demikian, itu tidak begitu mudah untuk memahami apa identitas dan bagaimana identitas nasional dapat dibangun di berbagai situasi sosial-politik.
Dalam konteks ini, Dumlupinar (2013) berpendapat bahwa identitas adalah konstruksi dan dibentuk sesuai dengan urgensi konjungtur yang ada. Sejalan dengan argumentasi ini kita mencoba untuk menguraikan transisi dari identitas etnik ke dalam nasionalisme, merupakan mekanisme pembentukan identitas dan strategi nasional dalam perspektif teoritis.
Selanjutnya, bahwa konsep identitas nasional ditentukan dengan cara bagaimana kita menafsirkan nation. Dumlupinar mengajukan dua cara menafsirkan bangsa sebagai tipe ideal dasar: yaitu identitas primordial dibandingkan dengan indentitas instrumental.
Dalam terminologi primordial bahwa pelaku utama yang ethno-nation, yaitu komunitas yang menyatukan individu melalui persamaan etnik. Sedangkan Instrumental cara menafsirkan bangsa menekankan aspek pragmatis dan situasional dari komunitas besar. Dengan demikian, bahwa keyakinan tentang karakter bangsa yang berlaku dalam masyarakat tertentu, menentukan identifikasi anggota dari komunitas ini sebagai bangsa.
Wawasan Nasional Menelisik Diri dan Lingkungan
Tentang situasi kehidupan lingkungan, terutama pandangan Postmodern, terjadi ambivalensi. Di satu sisi, hal ini ditandai dengan struktur global yang memungkinkan orang untuk melihat diri mereka sebagai warga dunia. Di pihak lain, mereka juga terikat diatur dalam bentuk negara bangsa yang mengikat warga untuk menjadi warga negara.
Karena itu, sebagai bangsa dengan kehidupan komunal kita harus mengorientasi ulang tentang cara pandang berbangsa dan bernegara. Baik dalam entitas skala nasional maupun dalam konstelasi pergaulan dunia global. Sehingga tidak tercerabut pada bergaya global semata, tetapi melupakan kekayaan leluhur berupa kearifan lokal.
Dalam konstelasi pemikiran berbangsa istilah orientasi ini merupakan wawasan nasional Indonesia. Wawasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) berarti: (1) hasil mewawas, tinjauan, pandangan dan dapat juga berarti (2) konsepsi cara pandang.
Wawasan Nasional indonesia yaitu cara pandang bangsa Indonesia dalam mencapai tujuan nasional yang mencakup perwujudan Kepulauan Indonesia sebagai kesatuan politik, sosial budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan.
Dengan demikian, wawasan nasional (kebangsaan) dapat diartikan sebagai cara pandang yang dilandasi akan kesadaran diri sebagai warga dari suatu negara akan dirinya dan lingkungannya, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Wawasan nasional selanjutnya akan menentukan pola dan cara bangsa Indonesia mendayagunakan kondisi geografis negara, sejarah, sosio-budaya, ekonomi dan politik serta pertahanan keamanan dalam mencapai cita-cita dan menjamin kepentingan nasional. Juga, menentukan cara menempatkan diri dalam tata berhubungan dengan sesama bangsa dan dalam pergaulan dengan bangsa lain di dunia internasional.
Bangsa merupakan konstruksi modern. Walau terkadang, kebanyakan kita mengidentifikasi dalam kontinuitas kehidupan yang terbentuk dari para pendahulunya, sebagai tradisi dan warisan.
Elevasi simbol bangsa berfungsi untuk bernegosiasi dengan bangsa lain, dengan budaya etnis tradisional, yang mengandalkan konten simbolis yang dimiliki secara unik. Sementara pada saat yang sama, rasionalisasi transformasi sosial juga diperlukan agar negara dapat menegaskan klaim dalam konteks politik modern sebagai perwujudan identitas tersendiri yang mandiri. Bahkan, dalam kondisi tertentu, mitos dapat berfungsi sebagai perekat yang efektif dan kuat, untuk memberikan ikatan emosi sebagai sebuah bangsa.
Rekonstruksi Budaya (dan Agama)
Sub pembahasan ini tidak bermaksud mempersamakan antara agama dan budaya, dan atau sebagai bagian dari salah satunya. Tetapi lebih pada kepentingan pengelompokan kajian, bahwa praktek-praktek keagamaan yang sudah dilakukan oleh umat, dikategorikan oleh penulis, sebagai budaya keagamaan yang dilakukan oleh manusia Indonesia.
Agama teks, komentar, imamat, liturgi, keyakinan dan jenis lain, sebagai fakta sosial umat beragama, mereproduksi diri mereka sendiri dari waktu ke waktu. Perspektif ini kurang populer dalam teori agama. Namun demikian, jelas dalam karya terbaru Scott Atran (2010) ketika ia berbicara tentang ‘nilai-nilai sakral’, sering terbumbui oleh kepentingan instrumental dan tidak rentan terhadap negosiasi rasional. Bahwa bentuk-bentuk pengamalan keagamaan memiliki kekuatan sosial otonom, dikutip oleh Wlemongar Gaye (2012).
Sesuai dengan ajaran agama, bahwa memperbaiki situasi nasional dan umat manusia (skala global) adalah kepentingan kita dan merupakan tanggung jawab moral untuk pembangunan bangsa, yang berdasar pada paradigma etika ajaran agama.
Tidak ada bangsa atau masyarakat yang mampu melakukan advokasi kebijakan dalam negeri atau luar negeri, untuk mengisolasi dari pergaulan seluruh dunia saat ini. Oleh karena itu, sangat penting bahwa di tengah-tengah krisis dari negara-negara gagal –alasan terorisme, ketidakamanan, perang, penyakit, degradasi moral, dan kemiskinan– kita harus mencari kekuatan kolektif dan agenda yang realistis yang mempromosikan pembangunan bangsa menuju kesejahteraan.
Dalam upaya ini, pembangunan bangsa berusaha untuk menciptakan identitas nasional yang kuat, bahwa mengakui keragaman dan keunikan rakyatnya, serta dapat mengimbangi percaturan di dunia. Selain itu, pembangunan bangsa membutuhkan orang-orang lokal yang tersedia untuk berpartisipasi “mengambil alih” sebagian besar tugas pemerintahan, mengembangkan warisan leluhur dalam proses pembangunan, juga menyertakan komitmen untuk keadilan transisional.
Beberapa pendekatan dapat dikemukakan untuk merekonstruksi budaya, dalam rangka penyadaran berbangsa dan bernegara, antara lain dinyatakan oleh Ahmed N. A. Hassin (2015), yang berdasar pada penelitiannya di Irak, tentang situasi negara dalam konteks pembangunan berbangsa. Bahwa pendekatan budaya lebih sensitif untuk mempelajari masyarakat sipil, dan kebutuhan untuk mengambil pertimbangan heterogenitas adat sangat potensial, karena masyarakat sipil sifatnya tidak monolitik; bukan bentuk dan fungsi yang dibentuk oleh konteks tertentu. Dengan demikian, penting untuk memperhitungkan alternatif pertimbangan kerja konseptual yang mungkin lebih mencerminkan pendekatan budaya.
Hassin mengadaptasi konsep pemberdayaan yang dikemukakan oleh sejarawan Muslim klasik, Ibnu Khaldun tentang ashabiyah atau solidaritas sosial. Konsep itu, menyediakan platform teoritis yang relevan untuk memahami peran masyarakat sipil. Ashabiyah menyediakan pendekatan konseptual yang lebih sesuai dengan budaya, untuk mempelajari masyarakat sipil di kawasan tertentu, terutama Timur Tengah. Khaldun berpendapat solidaritas sosial di suku masyarakat ditemukan baik dalam formal, dan non-formal yang diselenggarakan oleh kelompok masyarakat, dan itu adalah alat untuk mobilisasi dan perubahan sosial-politik.
Dengan demikian, dalam pendekatan budaya, masyarakat sipil dikonseptualisasikan sebagai spektrum yang luas dari formal dan organisasi non-formal dan jaringan yang ada di luar negara, yang didominasi oleh tokoh-tokoh komunal (kelompok), yang dapat memiliki peran sosial-ekonomi dan politik, sesuai tipologi masyarakatnya.
Pendekatan budaya juga memberikan implikasi pembagian peran, sesuai dengan kekuatan dan posisi masing-masing, dalam komunitasnya. Isu ini disarankan oleh Mohamed A. Abdi. (2010), bahwa pelajaran pembagian peran ini pada praktek kemitraan, setidaknya memperhatikan hal-hal berikut:
1. Rekonstruksi pasca identifikasi warga bangsa membutuhkan kemitraan strategis antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil untuk tugas pembangunan.
2. Dalam pengaturan kemitraan, itu adalah pemerintah yang harus mengambil peran utama dalam memainkan peran harmonisasi fungsi ketiga elemen.
3. Sektor swasta memiliki peran pendukung penting dalam bidang pertumbuhan ekonomi dan merekonstruksi perkembangan budaya.
4. Organisasi masyarakat sipil harus menunjukkan upaya kolaborasi yang kuat dalam keseluruhan restrukturisasi administrasi dan partisipasi masyarakat dalam urusan berbangsa.
Dalam pelaksanaan rekonstruksi budaya, untuk proyeksi kebersamaan, sebagai ide kebangsaan, dalam rangka mengoptimalkan potensi kebangsaan dimaksudkan sebagai tarekah dan upaya untuk merencanakan perikehidupan kebangsaan akan semakin baik.
Di antara tarekah itu adalah, sebagai upaya penggalian warisan kearifan lokal, sebagai contoh antara lain adalah pengembangan Subak di Bali, Budaya Leuit di Jawa Barat, sistem Huma dan berbagai warisan kearifan lokal lain yang kian ditinggalkan generasi muda saat ini.
Gaya hidup dan kecederungan masyarakat terutama generasi muda meninggalkan kekayaan leluhur berupa kearifan lokal, tidak serta merta terjadi. Hal ini adalah akumulasi dari perilaku dan gaya hidup komunal bangsa. Maka pengembalian kecenderungan ini juga mesti dilakukan secara komunal dan permisif, dengan pemahaman, dukungan serta penerapan masyarakat kita secara bersama-sama, bahwa potensi warisan leluhur, berupa kearifan lokal adalah modal yang sangat berharga dalam rangka mempertahankan identias kebersamaan sebagai sebuah bangsa.
Karakteristik pengembangan tersebut tentu harus dipahami dan disadari sejak awal oleh masyarakat, bahwa memerlukan proses yang telaten, panjang dan sangat sangat menjunjung tinggi kebiasaan, tradisi lokal, dan penghormatan terhadap kekayaan alam, sebagai sebuah keseimbangan alamiah, dan penghormatan serta pengabdian kepada Sang Pencipta, sebagai rasa syukur.
Di sisi lain, tuntutan dan kecenderungan hidup yang mengadaptasi pengembangan inovasi, yang penerapannya dengan berbasis pada kemajuan teknologi informasi yang serba instan, digital dan pragmatis, bukanlah sesuatu yang tabu. Pengembangan ini bukan untuk mengganti proses panjang tradisi lokal, tetapi sebaliknya yaitu untuk mengefektifkan nilai-nilai warisan leluhur, dengan cara penjagaan originalitas warisan tersebut, keseimbangan dengan hukum-hukum alam, prinsip kehati-hatian dan penjagaan hasil-hasil bumi yang telah dianugerahkan oleh Sang Penguasa.
Mewariskan nilai-nilai luhur tradisi lokal kepada generasi penerus adalah dengan interkoneksi dan trans generasi, agar wawasan kebangsaan tetap terjaga hingga waktu tak terbatas. Bisa jadi, sesuatu yang sangat mahal harganya. Bahkan, mungkin membutuhkan pengorbanan jiwa dan raga.**
Bahan Bacaan
- Ahmed N. A. Hassin (2015), (Roles of Civil Society in Nation-Building and Postconflict Reconstruction in Iraq. Deakin University March, 2015. Diunduh pada 26 Februari 2017 dari laman http://dro.deakin.edu.au/eserv/DU:30079137/hassin-rolesof-2015A.pdf.
- Dumlupinar (2013) (The Construction of National Identity in Modern Times: Theoretical Perspective Hüsamettin İnaç Assoc. International Journal of Humanities and Social Science. Vol. 3 No. 11; June 2013 dari halaman http://www.ijhssnet.com/journals/Vol_3_No_11_June_2013/24.pdf)
- Josep R. dalam Recent Theories of Nationalism. Llobera University College London. (Diunduh 20 Februari 2017 dari laman http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.134.2256&rep=rep1&type=pdf)
- Mohamed A. Abdi. (2010), bahwa, (Dalam Conlict Resolution And Nation Building In Somalia. Dissertation. Department Of Political Science Atlanta, Georgia July 2010. Diunduh pada 25 Februari 2017 dari halaman http://digitalcommons.auctr.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1738&context=dissertations
- Steven Mock (2009)., dalam Images of Defeat in the Construction of National Identity. University of London 2009 (Diunduh dari laman http://etheses.lse.ac.uk/2735/1/U615684.pdf).
- Wlemongar Gaye (2012) pada Rethinking Nation-Building: A Christian Socio Ethical and Theo-Political Task for Appropriating the Common Good. Loyola University Chicago. December 2012 (diunduh pada 27 Februari 2017 dari halaman http://ecommons.luc.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1349&context=luc_diss)