Tak terasa pekan ini sudah masuk pada Idul Adha 1442 H. Sebuah momentum untuk menguatkan kembali rasa pengorbanan seorang Muslim untuk menyerahkan sepenuhnya aneka persoalan hanya kepada Allah, dengan penuh keikhlasan.
Idul Adha tentu tidak sekedar seremoni agama. Banyak nilai terkandung yang harus diungkap serta diambil hikmahnya oleh umat manusia.
Tradisi seremoni ini dapat dinilai sebagai momentum yang sangat penting dan strategis, dalam pandangan pemberdayaan ummat. Karena dengan seremoni ini, secara serempak, tanpa harus dipaksa, dan digadang-gadang, masyarakat rela uluran tangan mensukseskan acara serupa, dengan penuh keikhlasan dan kekompakkan.
Dalam konteks masyarakat yang beragama, apapun sistem kepercayaan manusia, secara garis besar selalu terbelah pada kecenderungan menjadi setidaknya pada dua perspektif, cara pandang mereka terhadap sistem kepercayaannya. Bahwa agama dipandang dalam kacamata rasa dan logika.
Cara pandang dengan rasa keagamaan yang kuat, rata-rata melahirkan kelompok masyarakat agama yang taat dan militan. Militansi mereka teraktualisasi, dalam praktik ketaatan mereka terhadap ajaran-ajarannya, yang bersifat dogmatis. Ini bagian dari pencernaan rasa atau emosi mereka terhadap keberagamaannya.
Sementara, kelompok masyarakat beragama, yang mengutamakan cara pandang logika keagamaan, melahirkan kelompok keagamaan yang cenderung lebih terbuka, toleran, abangan, dan adaptif. Hal tersebut, terbentuk dari kecenderungan mereka dalam mengaplikasikan ajaran keagamaannya dengan “penawaran” berdasarkan logika dan hasil pemikiran mereka. Kelompok masyarakat beragama ini sangat selaras dan cocok, dalam lingkungan tradisi-tradisi ilmiah, kajian-kajian dan diskusi terbatas keagamaan.
Dua kelompok besar masyarakat beragama ini, bukan mutlak berbeda. Dalam hal yang sangat spesifik, dapat bersatu, padu, berbaur dan solid. Tetapi untuk menjadi berbaur memerlukan alat perekat dan pembaurnya yang harus tepat dan sesuai.
Perayaan Keagamaan Mengarah pada Kebersamaan
Tradisi yang terjadi di masyarakat muslim kita, menurut pengamatan penulis, pada konten inti perayaan keagamaan, acapkali menghadirkan seorang ahli atau yang ditokohkan dalam agama, untuk memberikan pencerahan seputar keberagamaan mereka. Dengan segala variasi tampilan agar menarik dalam lingkup bahasan, sesuai dengan keahlian masing-masing tokoh.
Lalu apa dampak manfaat yang dirasakan oleh masyarakat beragama? Hanya akan membekas sesaat, tidak memiliki dampak jangka panjang dan sangat taktis. Maka hal itu memerlukan pengulangan, kontinuitas, dan tindaklanjut yang intens, untuk pembinaan masyarakat beragama. Amat jarang ditemukan proyeksi perayaan keagamaan dalam bingkai konsep pemberdayaan yang strategis, dengan tujuan yang terukur, hasilnya efektif, dan berdampak jangka panjang.
Kendati demikian, dalam hal kemauan, proses dan wujud kebersamaan dalam perayaan keagamaan itu, dapat dikatakan sesuatu yang positif saja. Antara lain, berhasil efektif dalam menghangatkan suasana kemasyarakatan, menyegarkan ingatan pemahaman ajaran agamanya, membimbing pengalaman masing-masing penganut agama dalam mencapai kesadaran keberagamaan, dan menghadirkan rasa kebersamaan masyarakat beragama.
Unsur positif itu, akan menggiring pada kesadaran relasi keagamaan, yakni: kesadaran internal bersama sesama umat beragama, atau kesadaran eksternal kebersamaan dengan umat agama lain (dalam wacana kehidupan sesama makhluk Tuhan Sang Pencipta), dan kesadaran relasi yang lebih luas dengan negara, sebagai penyelenggara dan penjamin persatuan dan keutuhan sebagai warga negara.
Interrelasi kesadaran keagamaan tersebut, dari kesadaran idiologis, melalui jembatan pengamalan keagamaan, akan sampai pada tujuan. Nah, kesadaran bersama sebagai makhluk Tuhan yang dilahirkan, hidup dan saling berhubungan dalam koridor kemanusiaan, optimis tetap terjaga.**